Suasana Rumah Sakit Permata Hati itu terlihat ramai sejak semalam. Bagaimanalah? Kabar kematian putri tunggal pemikik Perwira Group itu sudah menyebar ke seluruh pelosok tanah air sejak satu jam yang lalu. Stasiun televisi berebut menyiarkan acara ini. Mencari keuntungan dari setiap jengkal air mata yang menangisi seseorang dan orang itu tidak akan pernah kembali.
"Sialan! Kenapa kemaren gue matiin teleponnya Desna! Gue bego! Bego! Bego! Aaaah!" Meta menjerit frustasi di depan ruang UGD, ia memukul-mukul kepalanya berkali-kali seolah melupakan rasa sakitnya begitu saja.
"Met! Lo diem lah!" Rahma mencoba menghibur sahabatnya itu namun percuma. Meta keras kepala sama seperti Desna.
"Kenapa sih lo kemaren nggak nyegah gue buat nggak iseng?! Kalo gue tau si Desna lagi butuh gue, gue nggak bakalan matiin hp gue! Bego, Met! Bego!"
Bayu yang baru saja tiba karena pulang mengambil baju ganti itu langsung membawa Meta ke dalam pelukannya. Berusaha menenangkan. "Ssstt! Ini bukan salah lo, Met! Emang udah rencana Tuhan aja ngambil Desna lebih cepet!"
"DIEM LO! Lo nggak tau apa-apa soal—"
"Meta! Udah, Met!" Rahma merengkuh bahu dalam dekapan Bayu itu seraya tersenyum miris. Jujur saja, ia juga ingin menangis. Menyesal. Tapi semua itu tidak akan pernah mengembalikan keadaan.
Masih di lorong yang sama, di depan ruang instalasi yang sama, seorang lelaki berusia delapan belas tahun hanya menatap nanar pintu berwarna putih itu. Sejak ia tiba di rumah sakit semalam, sejak ia mendengar dokter menjelaskan semuanya, sejak saat itu juga ia tidak berkutik dari tempatnya. Tidak makan. Tidak tidur. Tidak mandi. Dan yang paling jelas, tidak menangis. Sungguh, lelaki itu tidak tampak menangis atau meronta-ronta seperti Meta. Ia hanya diam. Sepanjang malam.
Dialah Aldino Putra Pramujaya. Kapten basket SMA Pembangunan yang menjadi idola seluruh angkatan, sekaligus cinta pertama Desnata Cataleya. Lelaki itu memang tidak terlihat menangis, tapi air matanya terlanjur mengering untuk sekedar dikeluarkan.
Dalam hatinya, ia terus memaki dirinya. Ia tahu. Sungguh tahu semuanya. Oh, Tuhan! Kalau seandainya ia boleh membalikkan waktu, kalau saja kemaren ia tidak menyeringai. Tidak membiarkan Desna berlari membawa semua lukanya. Tidak membiarkan gadis itu melewati semuanya sendirian. Dan yang paling membuatnya terluka adalah, tidak tertawa ketika melihat Desna dengan senyuman anehnya berlari jauh dari rumahnya. Oh seandainya bisa, bahkan ia rela jika semua itu harus ditukar dengan nyawanya. Sungguh!
Hal yang sama juga dirasakan oleh seorang lelaki lagi. Tidak terlalu jauh dari posisi Al, yang membedakannya hanya arah mata anginnya saja.
Reno.
Lelaki itu sama-sama mengutuk dirinya sendiri. Ia tahu, Dava dan Nirina pasti tidak akan pernah mempercayainya lagi sekarang. Ia tahu jika semua orang disini membencinya. Dan lagi..
Desna pergi dengan membawa segala kesalah pahaman dan amarahnya.
Semua itu membuat pangkal dadanya terasa seolah dihunus ribuan duri-duri tajam. Seperti dipukul berton-ton bogem dalam sekali sentakan.
Sakit.
Ya, Reno merasakan dadanya nyeri. Dan hal itu menahan air matanya untuk keluar. Lelaki itu bahkan masih memeluk ransel coklat milik Desna sejak semalam, menikmati aroma anggrek yang sudah dihafalnya sejak seminggu yang lalu. Aroma yang menyenangkan sekaligus menyesakkan untuknya. Dan sekarang..
Aroma itu tinggal menyisakan rasa sesak dan kenangan. Lagi.
Sakit.
"Dava Perwira?" suara seorang Dokter menghentikan aktivitas sekitar sepuluh orang manusia di lorong itu. Menoleh.