"Gimana tadi di sekolah?" Reno mulai membuka suara ketika keheningan mulai meratapi mobil mereka selama beberapa menit.
Desna menoleh, mengernyit. "Kenapa lo? Tumben tanya gitu," cibirnya.
"Maksud gue, gimana lo ngomong sama temen-temen kalo lo yah," Reno mengedik, "masih hidup."
"Oh."
Pembicaraan ini akan mengarah pada Al, lelaki super manis dan jentel bin sempurna seantero sekolahnya yang tiba-tiba meluruhkan moodnya.
"Oh?" ulang Reno.
"Gue nggak ngomong apa-apa sama mereka." Desna berujar malas. Harusnya orang di sebelahnya ini atau siapapun tidak usah repot-repot mengingatkannya.
"Nggak? Terus?"
"Kak Al yang ngelakuin, dia ngumpulin anak-anak pagi-pagi bahkan sebelum gue berangkat, terus bilang kalo gue masih hidup dan yah.. begitulah." Desna memberi jeda sebentar lalu menghela napas dan menyandarkan belakang kepalanya pada sandaran mobil lalu bergumam malas, "Bener-bener cowok yang nggak ketebak."
Reno meliriknya sekilas dengan tatapan yang entahlah apa maksudnya lalu kembali menghadap kemacetan di depannya. Ya, Jakarta macet. Kota super sibuk 24 jam itu sedang membuat orang-orang menikmati kekesalan masing-masing tapi mungkin ada juga orang yang duduk manis menikmati kemacetan itu. Contohnya dia lelaki yang saat ini duduk di balik kemudi, di samping Desna.
"Lo terlalu dimanja," gumam Reno membuat Desna tersentak.
"Apa maksud lo?"
"Ya itu, masalah lo aja sampe diselesain orang lain, kapan lo dewasanya?" ada sedikit nada sarkas ketika Reno mengucapkannya secara datar.
"Apa peduli lo?"
"Desna, denger," Sementara tanda-tanda lampu tiga warna itu berubah hijau masih lama, Reno menoleh dan menatap Desna serius, "lo itu udah nggak kecil lagi, ada saatnya lo harus nyelesain permasalahan yang bisa aja bikin lo dewasa, nggak terus-terusan manja."
"Jadi lo mau ngomong kalo gue anak kecil, gitu?!"
"Gue nggak ngomong gitu," ucap Reno tenang lalu mengambil napas. "Gue ngomong kalo lo terus-terusan bergantung sama orang lain buat nyelesain masalah lo sendiri, kapan lo bakalan bener-bener berpikiran mateng? Asal lo tahu, Om Dava nggak mau campur tangan urusan ini di sekolah lo itu karena beliau pengin lo bisa nyelesaiin sendiri, bukannya malah bergantung sama orang lain! Ada kalanya lo harus berpisah sama mereka dan tentu saja lo harus mulai mikirin nasib lo sendiri."
"Gue kan bilang, gue nggak tahu kalo Kak Al tiba-tiba ngumpulin anak-anak! Kok lo malah jadi nyeramahin gue!" kesalnya.
Reno mengerjap sekali, ia sadar jika ini memang kalimat terpanjang yang pernah ia keluarkan kepada gadis di hadapannya. Dan terlebih ini terlalu mencampuri urusan pribadi Desna. Harusnya ia tidak peduli. Harusnya ia tidak mengatakan itu.
"Dan asal lo tahu, Kak Al bukan orang lain meskipun orang itu—" Desna mendesah pelan lalu kembali menyandarkan tengkuknya pada sandaran mobil, memejamkan mata. Denyutan itu datang lagi.
Tidak tahu kalau sampai mobil mereka kembali berjalan bahkan hingga mereka sampai di suatu tempat, Reno masih menunggu kelanjutan kalimatnya.
-:) Anggrek Berduri (:-
Reno menatap toko bunga di depannya dengan perasaan campur aduk. Entahlah. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki disini. Terakhir kali ia kesini adalah terakhir kali ia menyentuh bunga anggrek. Terakhir kali ia menyentuh anggrek Vanda. Ya, terakhir kali ia kesini adalah terakhir kali ia menyentuh Vanda.