12 (2)

100 14 0
                                    

Reno baru saja menutup pintu kamar mandi ketika tanpa sengaja sudut mata laki-laki itu menatap benda asing dalam kamarnya. Sebuah ransel khas perempuan berwarna coklat dan juga sneakers berwarna senada, tergeletak rapi di sudut kamarnya.

Ia mengernyit dan bertanya dalam hati siapa pemiliknya sampai laki-laki itu berjalan mendekat dan menemukan aroma anggrek yang sudah dikenalnya melekat dalam barang-barang itu.

Reno mendengus geli seraya menggelengkan kepala mengingat tingkah konyol Desna siang tadi. Sebenarnya, ia sudah berusaha mengejar Desna, tapi lari gadis itu terlalu cepat hingga membuat Reno menarik kesimpulan kalau Desna sudah pulang dengan taksi.

Menggeleng, Reno pun mengambil inisiatif untuk mengembalikan langsung tas itu dan mencoba menjelaskan. Minimal, ia harus meminta maaf.

Membutuhkan sekitar satu jam untuk menyiapkan diri dan sampai di sebuah rumah yang akhir-akhir ini menjadi destinasinya sebelum berangkat kuliah. Laki-laki itu mengernyit bingung saat melihat depan rumah Desna sudah banyak mobil berjejer, tapi kernyitan itu memudar saat Reno ingat dengan ucapan Desna dengan penelpon entah siapa siang tadi.

Mungkin, itu mobil teman-teman Desna.

Laki-laki itu mengedik tak peduli lalu berjalan masuk. Ia tidak memiliki keperluan lain selain mengembalikan tas dan sepatu milik Desna. Karena Reno sendiri memiliki urusan lainnya yang lebih penting.

Laki-laki itu mengangkat tangan, bersiap mengetuk pintu rumah itu, tapi gerakannya dihentikan suara seseorang yang menyebut-nyebut namanya dari dalam rumah. Akhirnya, dengan sangat tidak sopan, Reno membuka pintu rumah itu dan langsung berhadapan dengan banyak pasang mata yang menatapnya penuh selidik.

"Nah. Itu Nak Reno!" Nirina yang bangun dari posisi duduknya dan tersenyum cerah pertama kali saat melihat siapa yang datang. Wanita paruh baya itu menengok ke balik bahu Reno, lalu menatap pemuda itu lagi. "Kamu kenapa nggak jawab telepon Tante tadi?"

Reno tersenyum sopan. "Maaf, Tante, tapi hape saya ketinggalan." Ekspresi Nirina berubah untuk beberapa saat sementara Reno mengabaikan itu. Ia hanya mengedikan kepala ke arah orang-orang yang masih menatap tajam kepadanya dan merasa kalau ada yang aneh di ruangan ini. Reno menatap Nirina lagi. Bertanya dengan suara rendah, "Desnanya ada, Tan?"

Menyebut nama Desna berhasil membuat Al mengankat kepalanya dan menatap nyalang pemuda yang baru tiba itu. Sementara Nirina membelalakkan mata terkejut.

"Tunggu," Al berdiri dan berjalan mendekat. Tatapannya masih sama ketika menatap Reno, "kita semua berkumpul disini sengaja nungguin lo sama Desna pulang dan lo malah nanya sama kita Desna dimana?!"

"Sebentar," Nirina menyela, menatap kedua pemuda itu bergantian, "Kalau Desna nggak sama Nak Al, nggak sama temen-temennya, terus nggak sama Nak Reno," wanita itu semakin panik, "jadinya Desna sama siapa?!"

Mata Reno membelalak untuk sesaat. "Apa maksudnya?"

"Apa maksudnya, kata lo?" Al mengulang pertanyaan itu dengan nada tinggi. Ia menggigit gerahamnya dengan mata nyalang. Menantang Reno dengan tatapan marahnya. "Tante Nirina ngomong sama kita kalau pagi tadi Desna pergi sama lo. Ke sekolah." Al menekankan ucapannya sambil sekuat tenaga menjaga nada bicaranya. "Dan lo tahu? Desna nggak pulang sampai sekarang dan lo nanya dimana Desna?!"

"Apa?" Reno berkomentar pendek. "Desna... belum pulang?"

"Ya!" Al menjawab tegas. "Dan lo malah nanya ke kita?! Dimana tanggung jawab lo sebagai cowok?!"

Nirina mulai terlihat panik. Pertama, karena Dava belum pulang untuk mencari Desna. Kedua, karena suara marah Al terdengar mengerikan untuknya. Dan ketiga, karena ternyata Reno tidak tahu dimana Desna.

"Terus sekarang, dimana Desna?" tanya wanita paruh baya itu pelan. Takut.

Reno menatap Nirina tak kalah takut. Setahunya, Desna keluar dari rumahnya dalam keadaan marah dan ia tidak sempat mengejar dan mendapatkan gadis itu. Setahunya, Desna sudah pulang dengan taksi. Tapi, kenapa...?

Tunggu. Reno berniat menjawab Nirina ketika pintu utama rumah itu lagi-lagi berderit terbuka. Menampilkan sosok pria paruh baya yang terlihat lelah. "Reno nggak bisa—" Dava menoleh ke kiri dan matanya langsung melebar. "Reno?"

Reno menatap bingung orang-orang itu. Apa yang harus ia jelaskan?

"Pa..." Suara panik Nirina semakin membuat panas atmosfir ruangan berpendingin itu. "Desna nggak ada sama Reno, Pa!"

"Loh, Desna nggak—" Tatapan tegas Dava membuat Reno semakin merasa bersalah. Tunggu, Kenapa merasa bersalah? Benarkah ini salahnya?

"Jadi..."

Ucapan Dava terpotong ketika suara ponselnya mendadak berdering nyaring. Menginterupsi pembicaraan panas mereka.

Nirina melihat suaminya mengambil dan menggeser layar ponselnya harap-harap cemas. Berharap kalau itu Desna atau siapapun yang berhubungan dengan putri semata wayangnya itu. Putri satu-satunya yang tidak pernah pergi tanpa kabar sebelumnya. Dan semoga...

"Desna?" gumam Dava sambil membaca tulisan di layarnya.

Dengan gerakan otomatis, Nirina merampas ponsel itu dari tangan sang suami dan langsung menjawabnya dengan cepat. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan kalau ia harus dan wajib mengomel pada Desna yang dengan seenak hatinya pulang terlambat. Sendirian.

"Desna!" kata Nirina keras.

"Halo, selamat malam?" Tapi, kernyitan di dahi mulus Nirina tampak saat suara seorang pria tak dikenal terdengar dari ujung sana. Bahkan, ia sempat menurunkan ponsel untuk sekedar memastikan kalau itu benar-benar Desna yang menghubunginya.

"Selamat malam?" balas Nirina skeptis. Itu memang benar nomor telepon Desna. Tapi...?

"Benar ini dengan orang tua pemilik nomor ini?"

Nirina semakin mengernyit. Menatap Dava bingung. "Iya. Saya mamanya. Ini siap—"

"Maaf. Tapi nyawa putri Anda tidak bisa tertolong. Kami menemukan—"

"APA?!" Nirina berteriak dan dengan reflek semua pasang kaki di rumah itu sontak berdiri.

"Ada apa, Ma?" tanya Dava panik sambil memungut ponselnya yang terjatuh di karpet akibat gerakan histeris Nirina. "Halo? Halo?"

"Desna, Pa..." Nirina menatap kosong. Sedetik kemudian, air matanya sebagai seorang ibu meleleh bersama jeritan histerisnya lagi. "DESNA JANGAN TINGGALIN MAMA!"

-

-

-

hai, FYI part 12 aku bikin v2nya ya...soalnya pas aku baca draft part selanjutnya agak gak sinkron sama yg kemaren -_- terus tadi pas di sekolah keinget kalau ada satu scence *bener gak sih tulisannya* yang hilang. jadinya aku repost disini hehehe. kan gak lucu kalau aku unpublish part 12 cuma buat nambahin 1000 words :'

oh, iya. buat part 13nya aku post nanti yaa :D

nd, maaf maaf maaf pake banget kalau feel di chap ini gak dapet soalnya aku gak bisa nulis dengan detail adegan demi adegan bagian yg hilang ini. jadinya aku cuma nulis intinya aja :' maafin yah... insyaA besok aku edit lagi pas udah selesai :D

jangan bosen baca + ngasih vomments ya :'D

laffyuu!

see ya!

Jangan jadi dark reader, lop-lop!

© November 18th, 2015 . 4:09 PM


Anggrek Berduri ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang