prolog

735 36 2
                                    

Deraian air hujan tengah menari-nari bebas di sekelilingku. Dingin. Entah hingga kapan aku mampu bertahan. Aku hanya berharap waktu tak membekukanku seperti ia membekukan hatiku.

Pekatnya langit malam nyaris membuatku buta. Kalau saja lampu-lampu jalan yang malang itu tak menerangi separuh penglihatanku, mungkin aku lebih memilih ambruk dan diserang jutaan air suci itu hingga aku mampu melupakan semua yang telah terjadi.

Pandanganku mengabut. Aku tak tahu ini karena malam semakin matang atau karena cuaca yang terlampau mendung. Atau juga karena kebekuan hati yang mencair keluar lewat kedua bola mataku. Entahlah.

Disela-sela isakku dan juga temaramnya sekelilingku, aku masih bisa melihat dengan jelas seorang laki-laki duduk mematung di sebuah halte kecil di tepi jalan. Tatapan itu kosong.

Setelah ku hapus sisa-sisa air mata dan tempias air hujan yang menyapu wajahku, aku mencoba mendekat. Tak perlu takut meski ia orang asing sekalipun.

Semakin jelas terlihat tatapan kosong itu memancarkan jutaan penyesalan dan kesedihan. Apakah ia juga tengah patah hati sama sepertiku?

"Boleh aku duduk disini?" tanyaku ragu-ragu.

Lelaki itu tak bergeming. Aku mencoba menepis rasa canggung yang semakin menggunung.

Tidak ada suara apapun melainkan gemericik air dari langit yang menghantam atap halte ini. Menyedihkan. Memberi kesan mencekam pada tempat ini. Rasanya aku hanya sendirian di tempat ini. Bersama jutaan rinai hujan. Dingin. Pendingin ruangan pada halte ini masih menyala, membuatku menggigil akan kesunyian yang menyelimutiku, menyelimuti hatiku.

"Pulanglah. Tak baik gadis sepertimu keluyuran malam-malam begini," ucap laki-laki itu setelah beberapa menit menggantung sapaanku. Tetap mempertahankan posisinya.

"Tak akan ada yang memperdulikanku," jawabku sekenanya.

"Sebaiknya kau pulang." ujarnya dingin. Semakin membuat dingin diriku dan benar-benar semakin membuat hatiku beku.

"Mengapa benar-benar tidak ada yang mengertiku!"

Ambigu.

Aku tidak tahu mengapa pertanyaan atau pernyataan kesal itu muncul begitu saja. Kalau pertanyaan yang sama juga ku maksudkan untuk orang asing di sampingku ini, itu benar-benar tidak masuk akal. Maksudku, jelas saja ia tak mengertiku. Ia bahkan tidak mengenaliku. Benar-benar gila.

Namun ia tidak merespon. Seperti mengisyaratkanku untuk mengeluarkan semua kesahku.

"Mengapa lelaki tidak pernah menghargai upayaku. Mengapa mereka mendekatiku tanpa mau memiliki komitmen itu? Apa semua laki-laki sepicik itu? Lantas disebut apa semua kedekatan selama ini?"

Laki-laki yang sepertinya seusia kakak kelasku itu tetap tidak bergeming. Hingga membuatku semakin ragu melanjutkan. Apakah aku berbicara dengan batu?

"Mereka punya alasan,"

Aku menoleh. Untuk pertama kalinya. Memandangi tubuh tegap yang saat ini tengah menatap lurus ke depan, menerawang jauh. "Tapi kau tidak tahu apa yang aku rasakan ketika mendengarnya menolakku,"

"Aku memang tak tahu apa yang kau rasakan. Tapi aku yakin mereka punya alasan untuk tak bisa bersamamu."

Perasaan marah dan terluka pada seseorang yang dengan sadar menolak perasaanku itu, kini beralih pada seorang laki-laki yang duduk di dekatku. Bagaimana mungkin orang ini seenaknya bilang kalau dia punya alasan? Orang ini bahkan tidak tahu apa yang telah dilakukannya padaku.

"Aku memang tidak tahu apa yang kau rasa. Tapi mungkin setidaknya aku bisa merasakan apa yang laki-laki itu rasakan.. jika kedekatan kalian itu juga tak diabaikannya," lanjutnya kemudian.

Aku tidak setuju dengannya. Enak saja bicara seperti itu.

"Bagaimana kau bisa tahu? Kau tak pernah tahu apa yang dilakukannya padaku!"

"Kedekatannya denganmu selama ini mungkin juga berarti besar untuknya. Hanya saja mungkin ia memiliki alasan untuk tak berkomitmen denganmu,"

"Tapi itu menyakitkan."

Air mata yang tadi sempat mengering itu, kini mendesak untuk segera ku keluarkan. Lagi.

Laki-laki itu memejamkan mata. Menghirup udara malam sebanyak mungkin seolah ia tidak bisa melakukannya esok lalu menghembuskannya perlahan. "Seseorang telah menyatakan perasaannya padaku beberapa waktu lalu. Seseorang yang.. berharga untukku,"

"Tapi gadismu beruntung, perasannya terbalas olehmu," potongku kemudian. "Tidak sepertiku." Membayangkan betapa beruntungnya gadis itu memiliki perasaan yang dibalas oleh laki-laki yang kini duduk sejajar denganku membuatku sedikit merasa iri.

"Ya, seharusnya kau benar. Tapi nyatanya tak seperti itu." Ia menghela nafas lalu melanjutkan, "Ia tak akan pernah tahu. Dan mungkin selamanya tidak akan tahu."

Aku menatapnya heran. "Apa maksudmu? Apa dia juga kau tolak? Kau tak memberinya kesempatan?"

"Mungkin dia membenciku setelahnya," ia tersenyum getir, aku merasaknnya. "Karena aku pengecut. Dulu ketika aku bersamanya aku selalu mengabaikannya.."

Aku mengernyit. Semakin tak mengerti apa yang orang ini katakan. Arah pembicaraan ini menyulitkan.

Lelaki itu membuka matanya. Menatap lamat-lamat derasnya hujan di depannya. Seolah ia akan melihat gadisnya di sela rintikan itu, dengan ekspresi semula. Kosong. "Ia mengutarakan perasaannya tepat ketika tanah yang menimbunku masih basah. Aku mendengarnya, namun aku tidak bisa lagi menggapainya. Ini menyakitkan. Bagiku juga tentu saja baginya. Selamanya ia tidak akan tahu perasaan yang sama besar kini telah terkubur bersama semua tubuhku. Aku pengecut ya?"

Aku tersentak atas penjelasan yang baru saja ku sadari. Laki-laki di sebelahku ini. Ia...

Lelaki itu menoleh, menatapku lekat dengan mata gelapnya. Membuatku tercekat beberapa saat. Sorot mata itu.. penyesalan dan kesedihan masih membekas disana hanya saja tidak seperti ketika aku melihatnya pertama kali tadi. Sekarang aku mengerti gadisnya tidak seberuntung yang aku bayangkan. Tatapannya tajam. Aku bisa menggurat dengan jelas wajahnya. Rahangnya kokohnya, alis matanya tebal dan juga indah. Rambutnya sedikit basah, hidung mancungnya, bahkan kulit bersihnya putih bersih mungkin mendekati pucat. Bibirnya tidak semerah kebanyakan orang. Namun ketika aku teringat sesuatu, aku menelan ludah perlahan. Susah payah.

"Percayalah. Mungkin ia juga memiliki perasaan yang sama sepertimu. Bukankah kau jauh lebih beruntung dari gadisku? Karena ia benar-benar mendengarkanmu, dan kau tahu itu. Dia juga mampu meggapaimu. Setidaknya ia masih bisa merengkuhmu. Teruslah berharap dan yakinkan padanya kau akan menerima apapun keadaannya. Sebelum kau terlambat dan membuatnya menyesal seumur hidupnya karena sebenarnya ia juga memiliki perasaan yang sama." ucapnya akhirnya. Tersenyum.

© June 25th, 2015 . 12:15 PM

Anggrek Berduri ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang