warning: bagian part ini akan banyak ditemui banyak narasi ;;)
--------------------------- hepi reading gaes ---------------------------
Desna menatap seorang gadis di dalam cermin dengan tatapan malas. Gadis itu mulai mengenakan beannie biru cerahnya lagi namun kali ini rasanya berbeda. Biasanya ia mengenakan beannie itu karena memang memiliki alasan khusus, tapi kali ini memang untuk menutupi pelipisnya. Bebatan pada pelipisnya benar-benar mengganggu, ia harus melepasnya tapi luka itu belum sempurna kering dan lagi.. ia belum mengganti perban itu sejak ia sadar kemarin pagi. Ia malas menanggapi teman-temannya jika melihat pelipisnya.
"Oh, ya ampun!"
Desna menepuk puncak kepalanya pelan seolah teringat sesuatu yang penting. Bukan masalah pelipis itu dan tanggapan teman-temannya yang akan mengganggunya sepanjang hari. Tapi reaksi teman-teman ketika melihatnya.
Ia teringat ucapan Dava semalam, papanya bilang kemarin lusa banyak sekali media meliput tentang 'kematiannya' dan jika mereka semua tahu bahwa Desna masih hidup, maka kemungkinan besar mereka akan menargetkan Desna sebagai hot news. Amarahnya yang akan meluap-luap jika ia harus dihadapkan secara langsung dengan para paparazi itu. Dan semua itu akan semakin memberatkannya jika ia melaluinya sendirian.
Setidaknya ia tidak sendirian kali ini. Masih ada ketiga temannya yang mungkin saja bisa membantunya menjelaskan semua kepada orang-orang di sekolah. Tidak hanya itu, Al dan teman-temannya juga tahu.
Tunggu, Al?
Apa yang bisa diharapkannya dari lelaki itu mengingat kepopulerannya di sekolah dan predikatnya sebagai penjaga jarak di sekolah. Berharap lelaki itu akan membelanya? Rasanya tidak mungkin apalagi ada Sania di sekolahnya.
Oh sialan! Mengingat Al otomatis mengingat gadis bernama Sania itu lalu mau tidak mau ia akan kembali teringat tentang kejadian di rumah Al tempo hari. Tunggu, itu sebenarnya tidak bisa menjelaskan jika mereka memiliki hubungan khusus kan? Maksudnya, mereka sekelas. Bisa jadi jika ia hanya bermain atau mengerjakan tugas saja. Apalagi jika mengingat kata-kata Al kemarin, pelukannya, perlakuannya seakan-akan tidak ingin ia menjauhi lelaki itu.
Bukankah itu bentuk lain dari ucapan Al menyukainya? Ah, tapi bagaimana dengan gadis dari masa lalunya itu? Sania? Al menyukai gadis dari masa lalunya itu.
Nyut!
Desna menghela napas kasar lalu memejamkan matanya. Memikirkan semua itu benar-benar membuat otaknya tidak bisa berhenti berdenyut. Pening. Dan satu lagi masalahnya, kepalanya mulai sering berdenyut sialan sekarang. Rasanya ia harus menghindari sekolahnya dan semua orang mulai sekarang, tapi itu tidak mungkin. Ia harus segera menyelesaikan masalah ini agar kepalanya tidak pecah.
"Sialan! Gue malah mikirin orang-orang itu! Harusnya gue mikirin gimana nasib gue hari ini!" Ia mondar-mandir di depan cermin besarnya seraya memijit pelipis yang tidak terluka, berpikir. "Meta! Ah, iya! Gue nebeng dia aja hari ini! Seenggaknya gue nggak sendirian masuk ke sekolahnya!"
"Hape gue mana?!" serunya panik ketika mengobrak-abrik tasnya tapi tidak juga menemukan benda hitamnya. "Oh gue lupa, gue nggak punya hape!" gerutunya, dan pada saat itu suara ketukan pintu berbarengan suara khas Nirina menginterupsinya ke alam nyata.
"Desna, kamu masih lama? Ayo sarapan!"
-:) Anggrek Berduri (:-
"Mam, gimana ntar?" tanyanya resah. Ia tidak bisa memakan panekuk buatan Nirina dengan tenang pagi ini. "Desna jadi malas ketemu orang-orang!"
"Kamu pasti bisa menjelaskan sama teman-temanmu, Papa sudah menghubungi kepala sekolahmu dan sisanya Papa yakin kamu bisa mengatasinya," ucap Dava ringan seolah-olah ini hanya masalah ia melupakan arah ke sekolah. Sementara Desna mendengus sebal demi mendengar hal itu.