Fiksi 10| Penjelasan

5 0 0
                                    

Hari ini ada jadwal ekstrakurikuler robotika. Rasanya, aku jadi gugup berada di ruang yang biasanya membuatku sangat percaya diri. Sejak tadi, aku hanya diam saja di pojok ruang robotika, tidak mendengarkan arahan dari pelatihku. Aku hanya melamun, memandangi salah satu cowok di depan sana.

Kak Marsel yang berdiri di samping pelatih, jabatannya sebagai ketua robotika membuatnya mau tidak mau harus selalu hadir. Aku tahu betul bahwa sebenarnya dia tidak ingin datang, karena tidak ingin melihatku. Aku bukannya PD, tapi memang benar. Jaka sendiri yang mengatakannya padaku.

Tadi, Jaka sebenarnya ingin bolos ekskul lagi karena katanya dia akan ngedate dengan Tania. Tetapi, Kak Marsel menjemputnya sambil sedikit curhat. Karena curhatan itu, hati Jaka tergerak untuk turut prihatin kepada Kak Marsel. Alhasil, Jaka tidak jadi bolos ekskul.

"Sebenarnya, Kak Marsel males lihat muka kamu, Jani," ucap Jaka sambil merapikan tempat duduk untuk persiapan pelatihan hari ini.

"Kenapa?"

"Dia merasa terhianati sama kamu. Tadi, dia mau bolos ekskul katanya, tapi mikir-mikir, soalnya dia kan punya jabatan di sini. Lagian, pelatih kita pasti akan marah kalau ketuanya nggak ada." Jaka menghentikan aktivitasnya, melihat Kak Marsel yang sedang menyambut kedatangan pelatih ekskul robotika. "Gini ya ternyata, ketika patah hati tapi harus tetap profesional."

Setelah kepergian Jaka dari sekitarku, aku jadi berpikir seribu kali tentang diriku. Di sini, aku merasa menjadi seorang penjahat untuk hati sebaik Kak Marsel. Apakah aku sangat menyakiti hatinya?

Hingga saat ini, Kak Marsel selalu memalingkan pandangannya setiap kali tatapan kami saling bertemu. Dia membuang muka ketika kami sedang dekat. Maka dari itu, aku memutuskan untuk memojokkan diri. Lagipula, aku ini apa dibandingkan dengan Kak Marsel? Aku bukan apa-apa.

Jika Kak Marsel merasa tersakiti, itu artinya dia benar-benar jatuh cinta denganku? Ini nyata?

***

Pelatihan hari ini cukup lama dari biasanya. Sebelumnya, kami tidak pernah pulang jam lima sore, tetapi hari ini karena saking semangatnya pelatih sebab yang datang lumayan banyak, alhasil pelatih kegatihan memberi materi. Sementara aku, rasanya tersiksa batin.

Aku baru ingat bahwa aku tidak bawa motor hari ini, karena ayah meminta untuk perpanjang plat nomor. Hadeh ... ayahku itu selalu perhatian pada motorku, dikit-dikit service, ganti oli, katanya rem blong, apalah, sekarang perpanjangan plat nomor. Ada-ada saja. Alhasil, aku harus meminta jemput sopir pribadiku, alias Kak Tara.

Sialan, aku baru ingat bahwa ... ponselku kena sita dengan Bu Riana. Tadi, sewaktu pelajaran sejarah minat, Bu Riana menyuruh kami untuk membaca cerita sejarah dari peradaban dunia. Tetapi, mata elang Bu Riana tahu saja kalau bukannya membaca cerita sejarah dari artikel, aku malah membaca cerita fiksi. Detik itu juga rasanya imajinasiku pecah, ponselku langsung melayang dan masuk ke kantong Bu Riana. Katanya, ponselku akan dikembalikan ketika pengambilan rapot semester. Huh ... masih kurang dua bulan lagi!

Aku tidak tahu harus bagaimana bicara kepada keluargaku soal ini. Seumur hidup, ponselku tidak pernah kena sita. Aku tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun, walaupun nilaiku buruk.

Menghela napas berat, aku mulai berjalan ke arah Jaka yang sedang menyalakan mesin motornya. Ini adalah satu-satunya harapanku. Dengan memasang wajah melas, aku mulai membuka suara sambil menggoyang-goyangkan tas ranselnya. "Jaka ...."

"Apa, sih?"

"Anterin pulang, ya. Aku nggak bisa telpon Kak Tara, HP-ku, kan, disita Bu Raina," jelasku.

Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang