Bab 15 | Teman Masa Kecil

4 0 0
                                    

"Anjani?"

"Marselina?"

Pyar!

Dua gelas minuman cokelat dan setoples roti kering itu jatuh di atas lantai yang bersih. Raut wajah kami yang ceria berubah seratus delapan puluh derajat. Detik itu juga, aku tersadar bahwa selama aku menyebut nama 'Marselino' selalu teringat akan seseorang.

Bodohnya, aku baru menyadari hari ini bahwa Marselino dan Marselina adalah saudara kembar. Rasa bahagiaku mendadak pudar melihat wajah Marselina sedang berdiri di rumah ini.

Pun sama dengan Marselina yang langsung memberiku tatapan penuh rasa tidak menyangka. Sepertinya, selama ini dia tidak tahu bahwa saudaranya itu menjalin hubungan dengan seseorang yang begitu dekat dengan Laskar.

Ya, pikiranku langsung beterbangan tertuju kepada Laskar. Ternyata, selama ini aku berhubungan dengan saudara tiri Laskar. Bagian dari keluarga yang selalu menghantui hidup Laskar.

"Ada apa ini? Kok tumpah semua, sih?" Dari arah belakang, Kak Marsel muncul dengan raut terkejut setengah mati.

Sedangkan aku dan Marselina masih membeku di tempat. Laki-laki itu kebingungan melihat kami berdua. Jika boleh kutebak, sepertinya Kak Marsel tidak pernah tahu tentang Marselina, Laskar, dan aku. Dia tidak tahu bahwa aku sangat membenci Marselina. Dia tidak tahu bagaimana seorang Marselina di mataku dan Laskar.

"Sel, Lin, ini ada apa?" Seorang wanita dengan pakaian yang terlihat lumayan mewah kini muncul dari arah kamar samping. Aku semakin berapi-api melihat wajah itu.

"Enggak tahu, Ma," jawab Kak Marsel. Ketika dia menyebut 'Ma', rasanya aku sangat membenci semua orang di sini.

Hatiku begitu hancur melihat wajah ketidaktahuan milik Kak Marsel. Mataku rasanya begitu panas, ada rasa sesak yang memenuhi dadaku. Akhirnya, aku meraih tasku dan langsung pergi begitu saja.

Namun, Kak Marsel berhasil menarik lenganku, meminta penjelasan. Mungkin, baginya ini terlalu tiba-tiba.

"Lepasin, Kak. Aku benci semua yang ada di rumah ini!" ucapku penuh penekanan, tidak luput tatapan marahku pada dua orang di belakang sana. 

Malam ini, aku merasa menjadi orang paling bodoh. Sudah sejauh ini, tetapi aku tidak pernah tahu bahwa Kak Marsel terlahir dari keluarga bejat ini. Aku sangat membenci mereka, aku juga benci Kak Marsel yang ternyata tidak tahu apa-apa tentang keluarganya sendiri.

Aku berlari entah ke mana, yang pasti ingin terus menjauh dari Kak Marsel dan mereka. Hingga pada ujung jalan yang buntu, Kak Marsel berhasil meraih tubuhku dan memelukku erat supaya aku tidak kabur lagi.

"Lepasin, Kak!" Aku berteriak histeris sambil menumpahkan air mata di sana. "Aku benci kalian, aku benci siapa pun yang menghancurkan Laskar-ku!"

Sejauh apa pun hubunganku dengan Kak Marsel, tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Laskar sebagai orang yang paling ku pedulikan. Rasanya, jiwaku dengan Laskar sudah menyatu, hingga meski aku mencintai Kak Marsel, aku bisa membencinya meski dia tidak tahu apa-apa tentang ini semua.

"Kenapa Kakak nggak pernah bilang kalau mereka itu keluarga Kakak? Bodoh!" Untuk melampiaskan amarahku, aku memukulinya sepuas hatiku.

Mendengar itu, Kak Marsel merenggangkan peluknya. Dia menatapku tidak paham. "Jelasin, Anjani. Aku enggak tahu maksudmu apa?"

"Keluarga Kakak itu sudah menghancurkan keluarga Laskar, harusnya Kakak tahu itu!"

"Laskar?"

"Siapa pun yang menyakiti Laskar, aku benci mereka. Aku benci Kak Marsel sekalipun Kakak nggak tahu apa-apa. Jangan pernah temui aku lagi, Kak!"

Hari itu, aku melepaskan Kak Marsel meski dengan berat hati. Aku tidak mau membuat Laskar semakin hancur dengan melihatku berhubungan dengan seseorang yang berasal dari keluarga tirinya. Aku tahu bahwa Laskar sangat lemah dalam hal itu, aku sudah berjanji padanya untuk menjadi seseorang yang selalu berpihak dan selalu ada bersamanya.

Malam itu, aku menelepon Kak Tara untuk menjemputku. Sambil menunggu Kak Tara, aku ditemani Kak Marsel. Dia terus meminta maaf kepadaku dan Laskar atas nama keluarganya.

"Maaf aku terlalu bodoh sampai nggak tahu hal sebesar itu. Anjani, aku nggak akan temui kamu lagi.  Ini akan jadi terakhir kali kita bertemu. Tapi, aku akan berusaha sebisaku untuk membantu keluarga Laskar utuh kembali, ya."

Aku mengangguk. "Janji, Kak?"

"Jangan pegang janjiku sebagai harapan. Tapi aku akan berusaha, Anjani."

***


Aku terus menangis di dalam kamar. Sepertinya, seluruh keluargaku sudah bergantian mengetuk pintu, memintaku untuk membuka kamar, tetapi tidak kuhiraukan. Aku sibuk menyesali diri.

Sudah kurang lebih dua jam air mataku mengalir, membasahi seprei sampai terlihat seperti gambar peta dunia. Rasanya hatiku sakit sekali karena dua hal. Pertama, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak mau mengakhiri hubungan dengan Kak Marsel. Kedua, aku menyesal karena harus berhubungan dengan seseorang yang keluarganya menyakiti Laskar.

Kakiku yang lemas ini berjalan begitu pelan menuju sebuah rak buku yang tidak pernah kusentuh. Mataku yang sudah membengkak hingga susah untuk melek, berusaha mencari sebuah buku.

Buku bersampul cokelat dengan gambar dua orang siswa dan siswi pergi berangkat sekolah, lalu di bawahnya terdapat tulisan 'Rajin Pangkal Pandai', pasti mayoritas anak sekolah SD punya sampul buku seperti itu. Aku juga punya, itu bukuku dengan Laskar waktu kami masih SD. Dulu, sampul seperti itu sudah sangat menarik di mata kami.

Aku membuka halaman pertama. Mendapati tulisan tangan milik Laskar yang sangat jelek. Tulisannya kotak dan besar-besar. 'Laskar dan Anjani'.

Halaman selanjutnya, aku melihat tulisanku yang jauh lebih bagus dibandingkan tulisannya Laskar. 'Anjani adalah orang yang cantik, Laskar suka Anjani. Selamanya begitu, iya kan?'

Di bawahnya, banyak sekali tulisan coret-coretan milik Laskar.

'Gak cuma cantik, tapi Kak Nini pahlawan super buat Laskar. Gak ada yang bisa sakiti aku selama masih ada Kak Nini di dunia'.

'Papaku jahat. Aku mau punya papa kayak papanya Kak Nini'.

'Aku sayang Kak Nini, Kak Tara'.

'Jangan pisahkan aku sama Mama Kala'.

'Mama Kala cantik, sama kayak Kak Nini'.

'Aku sayang Kak Nini dan keluarga Kak Nini. Semoga kalian selalu bahagia'.

'Kalau udah gede nanti, Kak Nini boleh pergi dari hidupku. Aku gak boleh menyusahkan Kak Nini terus'.

Air mataku kembali luruh membaca tulisan jelek itu. Mengapa kalimat-kalimat milik Laskar sangat menyentuhku meski hanya beberapa deret saja.

Aku terbayang betapa Laskar menggantungkan hidupnya padaku sejak kecil. Kami selalu bersama, diasuh bunda dan ayahku, bersama dengan Kak Tara juga.

Laskar sudah menderita sejak kecil, aku tidak mau membuatnya semakin hancur lagi.

"Kak, buka pintunya." Aku menoleh ke arah pintu kamar. Suara Laskar benar-benar muncul sekarang.

Dengan tangis yang sesenggukan, aku membuka pintu kamar. Menampakkan wajah Laskar yang panik melihat keadaanku. Melihat itu, Laskar langsung sigap memelukku, aku pun ambruk di pelukannya.

Mungkin, Laskar sudah tahu apa yang terjadi. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, yang Laskar lakukan hanya mengusap rambutku dengan tenang. Semakin dia menyentuhku, aku semakin menangis di sana seperti anaknya.

"Nggak apa-apa, Kak ...," ucap Laskar pelan pada akhirnya.

TO BE CONTINUED

Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang