Bab 18| Setelah Satu Tahun

2 0 0
                                    

Satu tahun kemudian ....

Rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki pada kelas dua belas, membuat memori yang sangat berkesan dalam masa muda. Satu kelas lagi dengan Jaka dan Tania adalah salah satu hal yang tanpa sadar membuatku bersyukur. Tanpa mereka, aku mungkin tidak bisa menikmati kegaduhan kelas yang menyenangkan.

Aku mengakui bahwa Jaka adalah teman terbaik sepanjang hidupku. Meski dia punya Tania, tetapi rasa pedulinya terhadapku tidak pernah luntur. Pun dengan Tania yang lagi-lagi duduk sebangku denganku.

Namun, hari ini aku tidak lagi duduk di bangku yang sama dengan Tania, aku tidak lagi berada di dalam satu kelas yang ramai dengan teman-teman. Sebab, hari ini kami tidak lagi mengenakan seragam sekolah, melainkan baju toga. Ya, hari ini kami melaksanakan purnawiyata.

Dari arah belakang panggung, aku melihat seseorang dengan jas hitam. Dia bukanlah purnawirawan, tetapi alumni. Kemudian, Jaka bergegas menyusul laki-laki itu dengan senyum bahagia. "Kak Marsel!" serunya.

Aku yang semula sedang asik mengobrol dengan Jaka dan Tania, mendadak berpaling arah. Aku tidak ingin melihatnya.

Entah sedang apa dia ke sini. Dengar-dengar, dia diundang oleh sekolah sebagai alumni yang berhasil lolos di PTN dengan jalur SNBP. Selain itu, Kak Marsel sangat tidak keberatan untuk datang, karena dia juga ingin memberi ucapan selamat pada Jaka. Maksudnya, selamat purnawiyata.

"Anjani, anak cantiknya bunda!" Itu suara bunda. Dia datang bersama ayah, Kak Tara, Kak Ayana dan Laskar beramai-ramai untuk merayakan kelulusanku.

Senyumku merekah melihat mereka begitu bahagia. Hal sederhana yang sangat membuatku bersyukur. Meski aku tidak naik panggung sebagai siswa berprestasi maupun yang lolos PTN ternyata tidak mengurangi rasa semangatnya untuk terus mendukungku. Aku bahagia memiliki keluarga seperti mereka.

Kak Tara yang tidak sengaja melihat Kak Marsel, langsung pergi dan menghampirinya. Sedangkan aku dan yang lainnya langsung mengambil tempat. Karena sebentar lagi, acara purnawiyata akan segera dimulai.

***

"Apa kabar, Sel?"

"Kak, aku kangen Kak Tara." Mendengar itu, Tara langsung menawarkan sebuah pelukan singkat untuk Marsel untuk melepas rindunya. Rasanya, hati Marsel menghangat, mengetahui bahwa Tara masih baik padanya.

Tidak lama kemudian, Laskar muncul dari balik pohon, membuat Marsel langsung menyapanya dengan sedikit gugup. "Kar," sapanya dengan suara pelan.

Laskar menangguk. Dia tidak membalas sapaan itu dengan baik. Tapi, Marsel dapat memaklumi hal itu.

"Udah masuk PTN, ya? Univ mana, Sel?" tanya Tara sebagai percakapan pembuka.

"UNY, Kak," jawab Marsel. Dia berhasil masuk ke UNY alias Universitas Negeri Yogyakarta. Kalau tidak salah, dulu Marsel pernah bercerita pada keluarga Anjani bahwa dia ingin masuk ke universitas tersebut.

"Bagus, tuh!" Tara memberikan acungan jempol dengan senyum yang mengembang.

Namun, di sisi lain Laskar hanya duduk di antara mereka berdua sambil menundukkan kepala. Dengan begitu, Marsel yang memahami Laskar mungkin tidak nyaman berada di sekitar mereka, Marsel menyempatkan untuk menggunakan kesempatan ini.

"Kar." Yang dipanggil itu mendongak, memberi tatapan yang ragu-ragu.

"Kar, maafin aku, ya. Aku nggak bisa bantu kembalikan keluargamu."

Satu hal yang membuat Marsel merasa memiliki hutang adalah ketika teringat pada Laksar. Dia pernah berjanji pada Anjani untuk berusaha mengembalikan keluarga Laskar yang dihancurkan oleh keluarganya. Tetapi, Marsel tidak berhasil. Keputusan yang diambil Marsel hanyalah dia memutus hubungan dengan keluarganya sendiri.

Ya, Marsel malah pergi dari rumah semenjak dia kuliah. Laki-laki itu memilih untuk hidup sendiri ketimbang harus satu rumah dengan perusak rumah tangga orang. Marsel sadar bahwa apa yang dilakukan keluarganya itu adalah kesalahan besar, tetapi Marsel maaoh merutuki diri karena hanya bisa mengambil keputusan ini.

"Aku pergi dari rumah, aku enggak mau sagu rumah sama orang-orang jahat seperti mereka. Maaf, aku pengecut, cuma bisa menghindar dari keluargaku," jelas Marsel dengan penuh sesal.

Sementara Laskar, mendengar itu hatinya menjadi tergerak untuk lebih empati lagi. Dia mengerti bagaimana perasaan Marsel. Dia menyadari bahwa Marsel adalah sosok yang baik, tidak seperti keluarganya.

Nyatanya, keluarga Laskar tidak berakhir lebih baik seperti yang dijanjikan oleh Marsel. Papa Laskar malah benar-benar menikah dengan mamanya Marsel. Tetapi, mereka memilih tinggal di rumah Marsel dan meninggalkan Mama Kala sekaligus Laskar. Kini, papanya Laskar tidak pernah kembali ke rumah.

Meski tidak pernah ikhlas akan hal yang menghancurkan hidupnya sejak kecil, Laskar perlahan mulai bisa berdamai dengan sosok Marsel. Apalagi, setelah mengetahui bahwa Marsel memilih meninggalkan keluarganya dan hidup sendiri meski di kost tempatnya kuliah, Laskar semakin yakin bahwa Marsel pantas dimaafkan. Sejak awal, Marsel memang tidak tahu apa-apa dan tidak pernah turut serta dalam menghancurkan rumah tangga keluarga Laskar.

"Jangan benci dirimu sendiri, Kak Marsel." Itulah yang diucapkan Laskar sebagai kata penerimaan maafnya.

***

Ddrtt ... drtt ....

"Kak Nini, novelnya Jankar udah tersedia di Gramedia!" Suara biasa-biasa saja dari Laskar yang terdengar melalui telepon itu berhasil membuatku melompat kegirangan di atas kasur.

Yang semula aku masih mengantuk dan malas gerak, langsung berubah seratus delapan puluh derajat untuk berlarian ke sana ke mari dengan gesit. Bersiap-siap pergi ke Gramedia bersama Laskar.

Aku membuka pintu balkon kamarku, menampakkan wajah Laskar yang muncul dari balik jendela kamarnya sendiri. Pada jarak kurang lebih dua belas meter itu aku melambaikan tangan kepada Laskar, memberi isyarat bahwa aku sudah siap untuk pergi. Sementara Laskar langsung berbalik badan, menutupi setengah tubuhnya dengan selimut.

Aku merasa kesal dengan tingkah Laskar yang seperti menolak ajakanku. Dia selalu seperti itu, memberiku informasi tetapi tidak excited untuk ikut aku pergi.

Akhirnya, aku menelepon laki-laki itu dengan agak mengomel. "Ayo, Laskar, berangkat sekarang!"

"Mager, ah!"

"LASKARRRR!!!"

"IYAAAA INI LAGI TURUN!"

Tiga menit kemudian Laskar muncul di hadapanku. Ah, tidak. Lebih tepatnya di hadapan Kak Tara. Ternyata, Kak Tara ketangkap basah sedang memberi Laskar selembar uang berwarna merah.

"Hayoo, ternyata diam-diam kamu dapat uang juga, ya, Kar!" seruku mengejutkan aktivitas keduanya.

Kak Tara hanya geleng-geleng, lalu berkacak pinggang sambil menatapku. "Ini uang jajan buat kamu. Aku titipkan ke Laskar, biar nggak boros-boros banget!"

"Kok cuma satu lembar, kurang, Kak ...," rengekku seperti anak kecil meminta dibelikan mainan.

"Masuk PTN dulu baru nanti kakak kasih uang sepuluh lembar!"

"BUNDA ... KAK TARA NGEJEK TERUS, TUH!"

"Taraaaa!"

"Enggak ngejek, Bun, ini ngasih motivasi."

Sebelum perang antara adik kakak dimulai, Laskar langsung bergegas memasangkan helm di kepalaku, lalu menggeret tubuh mungil ini untuk segera pergi dari ruang tengah dan berangkat ke Gramedia. Yuhu, saatnya menjemput kekasihku, alias novel baru!

TO BE CONTINUED

Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang