Fiksi 2 | Laskar-ku yang Kuat

37 7 9
                                    

"Kak, aku lagi di kedai biasanya, nih." Itu suara dari balik  speaker ponselku. Sambil berjalan menuju gerbang sekolah, aku terpaksa harus mendengarkan bocah ini.

"Terus, aku harus apa, Laskar?" tanyaku.

"Ke sini, dong." Aku menghela napas panjang mendengarnya, dengan kedua alisku yang bertaut karena silaunya terik matahari siang menjelang sore ini.

"Bilang aja minta jemput," ucapku setelah beberapa detik menangkap maksud ajakan Laskar yang memintaku datang ke kedai tongkrongan kami berdua. Haha, tongkrongan!

Aku dapat mendengar dengan jelas suara kekehan menjengkelkan dari balik ponselku. Aku yang sudah lelah dan mengantuk karena pelajaran sejarah wajib hari ini, rasanya ingin membuang ponselku saat ini juga. Terkadang, Laskar sedikit merepotkan.

Karena aku manusia yang punya hati nurani dan perasaan kemanusiaan, akhirnya dengan hati yang penuh ikhlas tulus aku mengambil motorku. Setelah ini, aku akan meluncurkan diri ke kedai di mana Laskar pasti sedang merenungi nasibnya.

Ngomong-ngomong, aku baru saja mendapatkan SIM satu Minggu lalu. Setelah empat kali mengikuti tes dan selalu gagal, akhirnya aku berhasil juga. Aku sudah mewanti-wanti jika aku gagal lagi, aku akan menggunakan calo saja. Namun, Tuhan masih berbaik hati dan menghargai usahaku. Anjani yang pantang menyerah ini mendapatkan SIM atas hasil usahanya sendiri. Tentu saja aku merasa keren.

"Anjani, jangan pulang dulu!" Huft, suara apa lagi itu? Kedua telingaku yang sudah tertutup helm rupanya masih bisa menebak-nebak. Biar kutebak, itu pasti suara Jaka. Tetapi, mau apa dia?

Biar kuberi tahu. Aku kalau sudah memakai helm, jangan harap aku akan banyak menggerakkan kepala. Jujur, memakai helm membuatku pusing dan terasa sangat berat. Jadi, sekarang aku tidak ingin menoleh sedikitpun. Kubiarkan sumber suara itu datang dengan sendirinya.

Benar dugaanku. Si Jaka Tingkir ini datang lagi.

"Ada apa, sih, Jak?" tanyaku dengan perasaan sedikit jengkel.

"Antarin aku, dong, ke rumah Kak Marsel. Mau balikin barang-barang sisa kemarin habis praktek robotika." Dari awal aku sudah menduga bahwa kedatangan Jaka ini hanya merepotkanku saja.

"Gak mau, ah." Kali ini aku ingin menjadi sahabat yang tidak bersahabat saja. Mentang-mentang aku sekarang sudah punya SIM dan boleh pergi ke mana saja tanpa takut kena tilang, aku bisa dimanfaatkan semua orang.

Anjani tidak sebodoh itu. Cih. Jaka ini juga memang menjengkelkan. Aku memilih untuk tidak peduli. Lagipula, aku tidak begitu akrab dengan yang namanya Kak Marsel. Meskipun aku tahu bahwa kami se-ekskul.

Ketika aku berbalik badan berniat menaiki motorku. Aku melihat sosok seseorang yang membuatku tersenyum ala-ala cerdikiawan. "Aku buru-buru, jadi nggak bisa anterin kamu. Tuh, pulang sama Angel sana!" saranku sambil menunjuk gadis di ujung parkiran sana.

Jaka melihat sekilas pada gadis yang kutunjuk. Aku dapat melihat jelas laki-laki itu geleng-geleng. "Aku ajak beliin kamu novel, deh."

Waduh, rayuannya benar-benar membuat hatiku luluh, sih. Kenapa dia merayuku dengan novel. Ini sangat membuatku susah untuk menolak. Tanpa berpanjang lebar lagi akhirnya aku melupakan sikap jual mahalku tadi dan memilih untuk mengantarkan Jaka.

Deal! Apa pun kalau aku di suap novel, sepertinya aku akan luluh. Ini sedikit tidak baik, tapi aku tidak bisa menolak novel.

***

Motor hitam mulus milikku akhirnya sampai di halaman rumah. Aku menghela napas jengah kala melihat sekitar. Halaman ini agak jorok, banyak kotoran tikus. Pasti Kak Tara tidak punya kesadaran untuk membersihkan halaman.

Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang