Fiksi 9| Bocah Gila dari Sebelah

13 2 1
                                    

Lagi-lagi pagi tadi kena masalah. Gara-gara Laskar yang sulit dibangunkan, alhasil dia ketahuan lagi dengan bunda. Tiba-tiba, bunda masuk kamar disusul dengan Kak Tara yang membuntuti. Dari belakang bunda, dia ikut mengomel seperti bunda.

Seperti ...,

"Awas aja kalau kalian berdua sampai aneh-aneh!" Itu peringatan dari bunda.

"Kalau emang Laskar nggak mau tidur di rumah, tidur sama Kak Tara aja, Kar." Nah, kalau ini adalah saran Kak Tara.

Sebenarnya, kalimat seperti ini bukan mengomel, ya? Sedikit, sih.

Laskar hanya cengar-cengir seperti orang tidak berdosa setelah meminta maaf. Tapi memang tidak ada yang menakutkan, keluargaku baik hati, jadi tidak ada yang namanya marah-marah. Setelah sesi 'mengomel' itu sudah selesai, Laksar pulang ke rumahnya. Sementara aku masih digodai dengan Kak Tara, katanya, besok-besok aku mau dinikahkan saja dengan Laskar. Cih, apa-apaan, aku dan Laskar sudah seperti adik kakak.

***

Hari ini aku malas ke kantin. Ternyata, aku sedang mendapat hari pertama tamu bulananku datang. Sangat tidak mengenakkan. Seluruh tubuhku rasanya pegal semua, terutama perutku yang keram.
Alhasil, aku menitipkan nasib perut kosongku pada Tania. Katanya, dia akan membelikanku mi ayam—aku titip, bukan dibelikan pakai uangnya.

Tetapi, aku tidak bisa yakin seratus persen, karena Tania pergi ke kantin bersama Jaka. Prediksiku adalah, mereka akan makan di kantin berdua, karena selama ini Jaka tidak pernah makan di kelas.

Sembari menunggu kedatangan Tania yang tidak pasti, aku memutuskan untuk bermain ponsel. Sebuah notifikasi muncul dari nomor tidak kukenal, satu pesan terkirim.

+62*******
Anjani kenapa nomorku di blok?

Membacanya, seluruh tubuhku rasanya bergetar. Aku tahu betul siapa pemilik nomor itu. Sudah pasti orang yang kemarin aku blokir karena saking takutnya bertemu!

Dengan segera aku menghapus pesan tersebut. Aku sengaja menghindar dari laki-laki bernama Kak Marsel itu. Beberapa hari ini aku berasa dihantui olehnya, tetapi aku harus tetap teguh pendirian. Ini demi kebaikan hatiku ... supaya tidak diajak pacaran.

Karena takut tiba-tiba Kak Marsel datang ke kelasku, aku mendapat sebuah ide. Mumpung kelas ini sepi, hanya ada aku dan beberapa cowok di belakang kelas yang sibuk mabar, aku berjalan ke arah pintu, berniat menutup pintu kelas. Supaya jika tiba-tiba Kak Marsel datang, aku masih bisa sembunyi selama ada jeda ketika dia membuka pintu. Ah, Anjani memanglah cerdas.

Baru saja aku membalikkan badan, pintu sudah terbuka saja. Tanpa sempat melihat siapa yang datang, aku melakukan gerakan reflek bersembunyi di bawah meja guru, yang kebetulan bisa menutupi tubuh mungilku. Aku mendadak panik, jantungku berdebar kencang. Padahal, belum pasti yang membuka pintu itu adalah Kak Marsel.

Karena tidak ada tanda-tanda suara orang berbicara, aku jadi penasaran siapa yang datang membuka pintu kelasku tadi. Dengan keberanian yang sedikit, aku memunculkan setengah kepalaku, mengintip dari tempat yang sama dengan satu mata, melihat sepasang kaki dengan kaos kaki yang berbeda dari kaos kaki milikku. Kuangkat sedikit lagi arah pandanganku, melihat seragam sekolah yang sama sepertiku, seragam batik biru dengan bawahan hitam, bedanya dia menggunakan celana.

Aneh, kaos kaki dan seragamnya tidak kontras. Postur tubuh dia seperti tidak asing di mataku. Setelah menghela napas panjang, akhirnya aku menaikkan pandanganku sekali lagi untuk melihat lebih jelas siapa laki-laki itu.

Hah?!

Yang pasti dia bukan Kak Marsel. Saat ini, aku seperti melihat sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Tidak masuk akal. Tetapi benar-benar nyata. Inilah alasan mengapa kaos kaki dan seragam orang itu tidak kontras! Ternyata yang aku lihat saat ini adalah seorang Laskar, yang notabenya adalah seorang siswa dari SMA Negeri 18 Yogyakarta. Sedang apa dia ada di sekolahku, dengan menggunakan seragam SMA Widarma-ku?

Aneh!

***

"Gila, kamu itu manusia gila yang pernah aku temui, Kar!" Aku terus memukuli tubuh Laskar tiada ampun hingga laki-laki itu berlindung menggunakan kedua tangannya yang menjadi tameng.

Dia hanya tertawa cekikikan. Aku masih tidak mengerti maksud kelakuan bocah ini. Banyak pertanyaan bermunculan di kepalaku. Pertama, bagaimana cara Laskar mengganti seragamnya di jam sekolah seperti ini? Kedua, bagaimana cara Laskar berpindah tempat dari sekolahnya ke sekolahku, lewat mana dia? Ketiga, apa tujuannya ke sini dengan menyamar menjadi siswa SMA Widarma? Dasar aneh!

Aku mengenyahkan segala pertanyaan itu dari pikiranku, sebab Laskar pasti tidak mau menjawab. Aku tahu betul, di saat seperti ini—momen cekikikannya Laskar—dia tidak pernah serius. Alhasil, aku beralih untuk mengecek segela kelengkapan atributnya yang mirip denganku.

Laskar menggunakan badge kelasku. Aku jadi ingat waktu itu Laskar meminta untuk memasangkan badge kelas di seragamnya. Ternyata untuk hal konyol seperti ini.

"Jadi kamu nanti masuk kelasku?" tanyaku setelah melihat badge kelasnya.

Laskar menggeleng. "Kalau bel, aku balik ke sekolahku."

"Terus, kamu ngapain ke sini, Laskar?"

"Aku mau menjelajahi sekolah ini, Anjani."

Dih? Dia memanggilku 'Anjani' tanpa menggunakan kata 'kak'? Aku tahu betul maksud dia memanggilku seperti itu, karena badge yang dia kenakan membuatnya seolah-olah adalah teman seangkatan. Makin aneh.

"Gak jelas!" Aku menggerutu kesal. Karena lelah berbicara dengan makhluk luar angkasa ini, aku duduk di bangku taman yang ada di belakang.

Laskar ikut duduk di sampingku. Mengedarkan pandangannya ke sekitar, melihat siswa-siswi yang berbondong-bondong membawa makanan dari kantin menuju kelas. Setelah itu, dia mendengar sebuah suara yang cukup memalukan dari sampingnya. Yaaa ... itu suara perutku yang keroncongan.

"Belum makan, Anjani?" tanyanya dengan wajah sok peduli. 

"Sebenernya tadi udah nitip makanan ke Tania, tapi gara-gara kamu, jadinya aku nggak makan."

Laskar menarik tanganku dan membawa tubuh mungilku ini berjalan dengan agak cepat menuju kantin. Menyusul pada makhluk kelaparan di sana. Sungguh, laki-laki itu seolah sudah memasuki sekolahku berkali-kali. Aku merasa dia benar-benar asli dari sekolah sini.

"Beli makan apa, hari ini aku yang traktir kamu, Anjani."

Aku tidak bisa mempercayai hal ini seratus persen, aku yakin diriku sedang bermimpi. Tolong siapa pun tampar diriku sekeras-kerasnya supaya aku terbangun dari mimpi tidak jelas ini.

Namun, kenyataannya aku sama sekali tidak bermimpi. Setelah seseorang menyenggol pundakku karena saking ramainya kantin, ternyata aku sadar bahwa ini adalah nyata.

Alhasil, aku menerima kenyataan dan mulai mengantri pada salah satu kedai. Di mana Laskar akan membelikanku semangkuk mi ayam, seperti yang kuinginkan sebelumnya. Aku berlindung di balik tubuh tinggi Laskar, dia yang memesankan mi ayamku.

Di sela aku mengantri bersama Laskar. Seseorang berdiri di belakangku. Melihat itu, jantungku mendadak tidak aman. Orang yang berusaha kuhindari ternyata ada di sini, menatapku dengan mata elangnya.

Kemudian, dia mengalihkan pandangannya pada Laskar. Memerhatikan bocah gila itu mulai dari atas hingga bawah penuh rasa sinis. "Ternyata ini alasan kamu menghindar, ya?"

Aku mematung di tempat, bahkan tidak menghiraukan semangkuk mi ayam yang seharusnya sudah ada di tanganku. "Kak, bukan begitu ...."

Matilah aku. Mengapa jadi begini? Duh ... ini semua karena Laskar yang sudah gila!

TO BE CONTINUED

Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang