Bab 14| Marselino

5 0 0
                                    

"Kak, ayo nanti malam ke pasar malam. Aku mau beli ikan, nanti ditaruh di kamar."

"Duh, maaf banget, ya, Kar. Aku juga sebenarnya mau ke sana, tapi sama Kak Marsel. Apa kamu nitip aku aja ikannya?"

"Enggak usah, Kak. Mendadak nggak pengin ikan, hehe."

Percakapan tadi sore sepulang sekolah Laskar masih terngiang-ngiang di pikiran Laskar. Entah mengapa, sudah beberapa minggu ini Laskar merasa semakin merasa kesepian. Setiap kali dia mengajak Anjani pergi bersama, semakin jauh mereka berdua.

Laki-laki itu kini duduk di teras rumah, hanya ditemani secangkir cokelat panas buatan Mama Kala. Matanya sudah bosan memandang layar ponsel yang hanya menampilkan hal-hal tidak jelas. Bermain game online-pun rasanya sudah tidak selera.

Laskar jengah. Dia memejamkan mata untuk beberapa detik, terasa hangat bahkan panas akibat terlalu banyak menyerap sinar radiasi. Hingga pejaman itu terasa dingin, Laskar membuka matanya.

Sialan, Laskar disuguhi penampakan sosok Anjani bersama laki-laki yang sudah dapat dia tebak bahwa itu adalah Kak Marsel. Mau tidak mau, Laskar harus menonton pertunjukan seorang gadis berusaha naik ke motor pacarnya dengan penuh canda tawa itu.

Sementara di belakang pagar, Kak Tara masih memerhatikan mereka berdua dengan cengiran yang merekah. Sambil terus mengoceh, entah mengoceh apa Laskar tidak mendengarnya. Yang jelas, Kak Tara tampak senang dengan hal itu.

Entah mengapa, melihat pemandangan itu, Laskar merasa semakin sedih. Seperti ada yang lenyap dari dunianya secara tiba-tiba. Laskar tidak mengerti, mengapa dia selalu merasa hanya Anjani satu-satunya orang yang dapat diandalkan dalam hal apa pun. Sekalipun dia sering bertengkar dengan gadis itu.

Jujur, Laskar rindu Anjani. Sudaj berminggu-minggu dia tidak pergi bersama Anjani, dia juga tidak pernah pulang sekolah bersama Anjani, bahkan dia tidak pernah lagi menyusup ke kamar Anjani malam-malam meski papa seringkali pulang ke rumah. Andai Anjani tahu bahwa semakin hari, Laskar semakin merasa dihantui oleh keluarga tirinya.

Sekarang, sekadar bercerita bersama Anjani saja susah. Laskar tidak pernah mengatakan bahwa dirinya cemburu pada Kak Marsel, hanya saja dia merasa ada yang hilang.

Suara dering dari ponsel warna hitam dengan casing bergambar karakter Pororo itu berhasil memecahkan keheningan di sana. Laskar segera mengangkat telepon yang masuk, ternyata dari Celo.

"Udah jadi, belum? Ini Kak Ghea lagi di rumah, siapa tahu kamu mau ke sini."

Dengan segera, Laskar beranjak dari tempat duduk. Melupakan segalanya tentang Anjani dan Kak Marsel pada beberapa menit yang lalu. Dia melangkah mengambil sebuah laptop di kamarnya, menyampirkan jaket di pundak, lalu pergi meninggalkan rumah.

***

Anjani pov

Pasar malam hari ini sangat ramai, padahal biasanya kalau aku ke sini bersama Laskar biasanya tidak seramai ini. Pasar malam ini lebih cocok jika kusebut pasar malam mingguan. Sebab, pasar malam ini selalu ada di alun-alun Yogyakarta setiap Sabtu.

Aku menjelajah setiap stan yang ada, meski beberapa sudah kuhafal letaknya. Pasar malam ini lumayan besar, sehingga untuk menjelajah seluruhnya, kira-kira butuh waktu kurang lebih tiga puluh menitan. Pada waktu sekitar lima belas menit itu, aku dan Kak Marsel berhenti pada sebuah stan yang menjual arum manis.

In the world of boy, he's a gantle man.

Aku teringat pada salah satu lirik lagu milik Mbak Taylor. Seandainya aku seorang penyanyi, mungkin seperti itulah lirik yang cocok kunyanyikan untuk Kak Marsel. Pacarku satu-satunya ini sudah tampan, baik, dan royal. Dia sangat pengertian. Aku tidak boleh ikut mengantri di kerumunan ini. Dia memintaku untuk menunggu di tepi, bersama dengan ibu-ibu dan anaknya yang sama juga menunggu giliran sepertiku.

Akhirnya, dari jarak kurang lebih lima meter, aku memandangi punggung berbalut jaket denim itu yang semakin lama semakin tertutup oleh punggung-punggung lain. Aku tersenyum hangat, mensyukuri setiap waktu yang kujalani bersama Kak Marsel.

"Cantiknya, Mbak!" Aku menoleh, ibu-ibu berambut pirang di sebelah ternyata sedang memujiku dengan senyum.

"Makasih, Bu. Ibu juga cantik banget, masih muda kayak ibu-ibu gaul," jawabku etes.

"Muda apanya, Mbak. Anak sudah empat begini." Aku menelan ludah dengan sedikit kaget setelah anak-anaknya bermunculan satu per satu, disusul dengan seorang pria yang tampak kewalahan mengatur mereka.

Rasanya aku ingin tertawa di tempat, tetapi melihat sang ayah kewalahan seperti itu, aku jadi turut kasihan. Akhirnya, aku hanya ber-oh sambil ber-hehe saja kepada ibu tersebut.

"Saya juga besok-besok mau punya anak sebelas, mau bikin tim sepak bola, Bu." Aku terkejut mendengar suara familiar itu tiba-tiba muncul di sebelahku.

Kak Marsel dengan dua buah arum manis di tangannya, tetawa geli atas ucapannya sendiri. Apalagi ketika aku mengerutkan kening heran, disusul dengan tawa renyah dari sang ibu. Aku yakin Kak Marsel hanya sok asik.

"Nih, arum manis buat yang manis," ucapnya sambil menyodorkan arum manis dari tangan kanannya.

Kemudian, aku beranjak dari tempat duduk. Setelah menyapa satu per sama anak dari ibu tersebut, aku akhirnya pergi bersama Kak Marsel untuk melanjutkan penjelajahan kuliner.

"Aku enggak mau punya anak sebelas, nanti malah jadi kayak panti asuhan." Entah mengapa aku tiba-tiba ingin membahas ucapan ngawur dari Kak Marsel tadi.

Kak Marsel tertawa kencang, sampai beberapa orang di sekitar kami menoleh karena terkejut. Dengan begitu aku reflek mencubit pinggangnya supaya diam.

"Ya udah, sepuluh aja kalau gitu, deh," jawabnya.

"Gini, nih, kalau ngomongin hal yang nggak masuk akal. Padahal, ketemu keluarga Kak Marsel aja belum pernah." Sejujurnya aku hanya mengode supaya diajak ke rumah Kak Marsel. Selama ini, aku belum pernah masuk ke rumahnya, hanya sekali waktu itu saat bersama Jaka.

"Kalau gitu, pulang dari sini, mampir ke rumah, ya!" Nyatanya, Kak Marsel sangat peka dan paham dengan kodeku.

Laki-laki itu langsung mengambil ponselnya yang dititipkan di sling bag-ku, laly menelepon seseorang. Sepertinya itu suara perempuan. "Lin, siapin camilan buat pacarku nanti."

"Siap!"

***

Pukul setengah sembilan malam tepat, kami telah sampai di depan rumah Kak Marsel. Rasanya, jantungku berdebar kencang saat Kak Marsel membuka pagar rumah sederhananya itu. Apalagi setelah dia menyuruhku untuk masuk.

Dengan langkah yang pelan dan ragu, aku berhenti di depan pintu yang masih tertutup. Kak Marsel memintaku untuk duduk di kursi teras sembari menunggu dibukakan pintu.

Ceklek ....

Pintu terbuka, aku beranjak dan berpindah tempat ke ruang tamu. Menunggu Kak Marsel yang masih naik ke kamarnya untuk meletakkan jaketnya.

"Mana pacarmu?"

"Itu di ruang tamu. Siapin minum dulu, dong, buat kakak ipar!"

Aku terkekeh mendengar percakapan kedua orang itu dari dalam. Kalau saja dia tidak menelepon tadi, aku tidak akan tahu bahwa Kak Marsel punya saudara perempuan. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi setelah mendengar tawa dari saudara perempuannya.

Katanya, mereka kembar fraternal alias kembar tak seiras. Makanya, waktu aku tanya apakah saudara perempuan itu sebagai kakak atau adik, Kak Marsel langsung menjawab sepantaran.

"Minuman dan camilan sederhana untuk pacarnya Marselino yang tengil sedang berjalan ...." Aku terkekeh mendengar suara itu yang perlahan semakin dekat. Kedengarannya saudara kembar Kak Marsel itu sangat ramah.

Aku tidak sabar untuk menyapanya.

"Anjani?"

"Marselina?"

Pyar!

TO HE CONTINUED

Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang