Suara keramaian dari mulut para siswa-siswi yang otaknya baru saja terbakar karena ulangan harian matematika dadakan menimpa kelasku hari ini membuatku semakin pusing. Teman-temanku tidak ada yang duduk di bangkunya sendiri dengan tertib. Aku pun sama seperti mereka.
Kami mondar-mandir untuk mencari tahu satu sama lain berapa nilai yang berhasil kami raih. Tentunya kami akan saling adu nasib dan mengeluhkan hal yang sama.
Seorang laki-laki yang tingginya setengah kali lipat lebih tinggi dariku berlari kecil sambil membawa kertas hasil ulangannya ke arahku. Rambutnya yang sedikit berponi itu terlihat lucu, apalagi ketika matanya tersenyum, terlihat seperti berudu. "Anjani, kamu dapat berapa?" tanyanya setelah mengikis jarak denganku.
Aku menghela napas panjang. Menyembunyikan kertas hasil ulanganku ke balik punggung. Wajahku kali ini benar-benar kusut. Namun, yang namanya Jaka tidak akan menyerah untuk mencari tahu berapa nilai yang kuraih.
"Sini lihat!" Tangannya yang lebih panjang dariku itu berhasil merebut kertasku. Kemudian dia melihat angka yang terdapat di pojok kanan atas kertas ulanganku.
"Jangan diketawain!" Aku memperingatkannya.
Jaka memasang wajah biasa saja. Tangannya terulur, mengembalikan kertasku. Reaksinya tidak sesuai ekspektasiku.
"K-kok?" Aku mendadak bingung. Biasanya dia akan mengoceh sambil tertawa, menertawai kebodohanku.
"Kamu ada kemajuan, jadi aku gak bisa ngejek kamu," ucapnya kini sambil mulai sedikit tertawa.
Kemajuan? Aku berpikir sejenak. Mengamati selembar kertas yang membakar otakku tadi. Kemajuan apanya, aku pikir tidak ada yang namanya kemajuan di sini. Nilaiku sama seperti ulangan harian sebelumnya. Dulu, aku mendapat nilai tiga puluh, sekarang pun sama.
"Dulu kamu terkecil kedua, sekarang ketiga." Jaka akhirnya mengacungkan dua jempol ke arahku dengan senyum ala brand ambassador pasta gigi.
Aku menghela napas panjang. Ucapan Jaka ada benarnya juga. Setelah itu, aku mengalihkan pandanganku kepada Angel yang sedang berdiri di samping meja guru sambil memperhatikan teman-teman sekelasku dengan penuh seksama. Dia sudah mirip guru killer sekarang.
Coba kutebak, sebentar lagi dia akan melakukan hal yang ....
Tek tek tek!!!
"Rame aja terus, rame kayak pasar!" Ya, itu tebakanku. Dia baru saja mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol untuk mengambil alih perhatian semua temanku.
Angel, sesuai artinya yang adalah 'Malaikat'. Dia adalah malaikat penolong bagi guru-guru karena selalu menjadi kepercayaan dan andalannya. Namun, dia seperti malaikat maut bagi kami yang tidak bisa diam. Ya, maklumi saja kami sebagai remaja ini. Angel selalu marah jika kami ramai di kelas. Namun, satu hal yang tidak bisa diprotes adalah bahwa Angel memang seorang ketua kelas. Dia sangat tertib dan disiplin, tidak salah jika guru mengandalkannya.
Huft ... terkadang aku ingin menjadi seperti Angel. Tetapi aku sadar bahwa aku adalah Anjani yang otaknya pas-pasan dan masih labil. Jaka juga mengakui itu, dia selalu berusaha menyadarkan aku ketika aku berhayal menjadi gadis seperti Angel.
"Itu si Angel dapat nilai berapa ya, Jak?" tanyaku pelan pada Jaka yang masih setia berdiri di sampingku.
Jaka ikut memerhatikan Angel dengan ekspresi yang sama sepertiku. "Pasti nilainya tertinggi sekelas, tuh."
Kemudian, kami berdua saling memegangi pundak satu sama lain, saling menatap dengan wajah yang pura-pura sedih, bersikap penuh dramatis. "Kita ini memang hanya butiran debu, ya, Jak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]
Teen FictionAnjani Aurora Winata, gadis ceria yang suka membaca. Novel fiksi terutamanya. Anjani sebagai kakak, tetangga, sekaligus kekasih, dia adalah tokoh utama dalam kisah yang ditulis oleh penulis bernama pena Jankar. "Kak Anjani, asal kamu tahu, kamu ada...