Jaka sialan. Dia lagi-lagi bolos ekskul robotika hari ini. Katanya Tania, tadi laki-laki itu sempat mengatakan bahwa dia sudah tidak kuat ingin buang hajat. Padahal, sekolah menyediakan toilet yang bersih dan nyaman. Aku tahu, WC di sekolah memang tidak sebagus WC milik Jaka di rumahnya. Tapi—ah, sudahlah. Jaka memang sudah mulai nakal sekarang. Katanya ingin menjadi ketua ekskul robotika tahun depan, tetapi malah jadi tukang bolos.
Seperti biasa, anggota paling aktif bulan ini adalah aku. Iya, hanya aku. Yang hadir ekskul saat ini hanya aku dan Kak Marsel. Kak Marsel tidak termasuk anggota teraktif, ya, karena dia memang ketua kami.
Sejujurnya, aku mendadak jadi aktif datang ekskul ini karena Kak Marsel yang memberiku novel waktu itu. Entah mengapa, karena kebaikannya, aku jadi sungkan dan tidak enak hati kalau jadi pembolos lagi. Mungkin, ini caraku menghargai Kak Marsel sebagai ketua.
"Kak, ini baterainya apa nggak kebalik?"
Mendengar itu, Kak Marsel langsung menghampiriku. Mengecek robot yang sedang kurancang bersama anggota lainnya sejak tiga bulan lalu. Harus kuakui, robot kami kali ini cukup sulit. Ukurannya, sih, tidak begitu besar, tetapi rumitnya minta ampun.
"Iya, ini tinggal dibalik aja." Laki-laki bertubuh tinggi itu kemudian membenarkan baterai robot kami. Semudah itu jika yang melakukannya adalah Si Ketua ini.
Dia tampak tertawa kecil ketika melihat reaksiku yang sedikit syok karena Kak Marsel ternyata sangat ahli. Pantas saja dia dipilih jadi ketua. Sudah keren, hebat, dan baik hati.
Eh, sebenarnya Kak Marsel tidak begitu baik hati jika diingat-ingat lagi. Dulu, dia sering memarahi kami ketika kami banyak bicara sewaktu pelatihan. Tetapi, entah mengapa sekarang dia mendadak baik begini padaku.
"Novelnya yang aku kasih udah dibaca?" Dia memulai obrolan dengan topik yang diluar konteks saat ini.
"Iya, Kak, tapi masih setengah," jawabku apa adanya.
"Bagus ceritanya?"
"Bagus banget, Kak!" Aku langsung semangat menanggapi pertanyaan Kak Marsel. Huh, suruh siapa dia bertanya soal novel, aku jadi langsung excited dan meninggalkan pekerjaanku.
"Aku baru aja baca setengah, dari setengah yang aku baca itu, tiga puluh persen lucu, tiga puluh persen baper, dan empat puluh persen nangis. Campur aduk, Kak!" Anjani yang banyak bicara sekarang sudah mengoceh. Ya ... begitulah aku.
"Terus merchandise-nya sebagian udah aku pakai, Kak. Stikernya lucu banget, jadi aku tempel di kamarku. Ada yang di cermin, di pintu kamar, sama ada yang aku taruh di meja belajar."
Sementara Kak Marsel rupanya juga senang mendengarkan aku bercerita. Dia tersenyum lebar sambil terus memerhatikanku. Sesekali tertawa sambil geleng-geleng kepala, mungkin dia heran melihat orang seperti aku.
"Maaf, Kak, kalau aku terlalu banyak omong, hehe." Akhirnya, aku tiba-tiba menjadi sungkan dan sadar diri.
Kak Marsel malah tertawa. "Anjani ... Anjani, lucu banget."
"A-apanya yang lucu, Kak?" tanyaku penuh kikuk.
"Kamu selalu bisa bikin orang bahagia." Kak Marsel mendekat, mengikis jarak di antara kami. Tubuhnya agak membungkuk, menyamakan tingginya denganku hingga wajah kami bertemu begitu dekat. Aku baru menyadari bahwa kalau dilihat dengan jarak sedekat ini, Kak Marsel sangat tampan. "Tiap kali lihat kamu yang selalu ceria, aku jadi ikut bahagia, Anjani."
Deg!
Aku tidak bisa bernapas dengan normal. Rasanya, jantungku berdetak tidak karuan. Aku mematung mendengar ucapan Kak Marsel. Apakah benar yang dia katakan? Itu artinya, aku membuat orang lain bahagia? Lebih tepatnya ketua robotika ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laskar, Anjani, dan Fiksi [Terbit]
Genç KurguAnjani Aurora Winata, gadis ceria yang suka membaca. Novel fiksi terutamanya. Anjani sebagai kakak, tetangga, sekaligus kekasih, dia adalah tokoh utama dalam kisah yang ditulis oleh penulis bernama pena Jankar. "Kak Anjani, asal kamu tahu, kamu ada...