Mereka masih terlalu muda dan bodoh dalam memahami perasaan.
Joong terlalu denial pada perasaannya sendiri sampai kemudian takdir mendorongnya lebih dekat pada Dunk.
Dunk sempurna, semua orang setuju, terutama bagi Joong yang selalu memujanya. Tap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit kota London yang selalu di puji konon katanya punya kekuatan magis yang mampu membuat hati seseorang merekah bahagia atau sebaliknya meradang dalam rindu.
Joong menatapnya kali ini tanpa minat, tidak ada bulan atau bintang, hanya gumpalan awan gelap dengan background gelap langit malam menjelang pagi. Jari jari panjangnya mengait pinggang gelas, gelas wine yang di isi Vodka beraroma kuat, ia belum mabuk tapi matanya sudah terasa berat, roko di tangan kanannya di hisap mengisi rongga paru parunya sebelum di hembus ke udara berupa asap. Joong baru menyelesaikan putaran ketiganya tapi mainanya sudah tak sadarkan diri di atas ranjangnya, tidak ada perasaan menyesal, hanya kesedihan membabi buta yang memenuhi hatinya.
Pagi di mulai Dunk sengaja bangun lebih siang dari biasanya hujan di akhir musim semi adalah hal yang buruk untuk memulai aktifitas di pagi hari. uh, rasanya ia tak sanggup menantang angin dingin pagi ini dengan tubuh kurusnya.
Setelah mandi secepat cahaya, ia mematut dirinya berhadapan dengan cermin, rambut hitam legam, wajah mungilnya di balut krim tipis dengan lipbalm bening, sementara bajunya ia memilih setelan serba hitam dengan sepatu pink stabilo.
Toko bukunya di buka mulai pukul sembilan, jam tangan cantiknya baru menunjukkan waktu 8:40 ia masih punya waktu 20 menit untuk sarapan di dalam bus nanti.
Ring ring!
"Halo, " Dunk mengigit roti isinya sambil menjepit ponsel di antara pundak dan pipinya.
"Jemput aku,"
Dunk menghela nafas gusar, menatap kilas jendela berisi sibuknya kota di waktu pagi. "Aku bukan pelayanmu, aku sibuk."
"Kau pelayanku kalau kau lupa, cepat jemput aku di hotel Hilton Tower. "
"Sialan aku tidak mau, urus saja urusanmu sendiri. Jangan libatkan aku lagi aku tidak mau." Dunk segera menekan ikon merah dan memasukan ponselnya kedalam saku. Busnya sudah berhenti di halte ia hanya perlu berjalan sekitar 500 meter masuk ke area pertokoan.
Handphone nya terus bergetar, Dunk tidak perduli lagi, ia harus segera sampai ke tokonya sebelum terlambat dan pemilik toko akan menegurnya untuk yang ke tiga kali di bulan ini.
Pertama tama ia membuka pintu kaca dengan bingkai kayu coklat mengkilap, suasana tokonya memang terkesan vintage. Kemudian ia segera mengenakan celemek untuk membersihkan seluruh sudut dengan vakum cleaner, mengelap meja dan kaca terakhir menyalakan AC.
" Selamat datang, apa yang anda butuhkan," Dunk menyapa hangat,
"Aku butuh meminjam buku,"
"Silahkan mengisi buku pengunjung."
Yahh begitulah hari harinya di isi dengan damai sebelum perusuh itu datang.
"Aku menelepon mu ratusan kali," Dunk berjalan meletakan buku kamus setebal sepuluh senti kedalam rak, di belakangnya dibuntuti lelaki berambut cokelat terang dengan Coat yang hampir menutupi setengah wajahnya. Rasanya seperti diikuti depkolektor. "Kau juga tidak menjawab pesanku, hei kau dengar tidak?!"
Dunk menghela nafas, jengah sekali. "Aku dengar,"
"Dan kau tidak meminta maaf ?" Dunk menyimpan tumpukan buku sejarah di rak paling bawah, si coklat terang itu mengikutinya untuk menekuk lututnya berjongkok di depan rak buku.
"Berhenti bersikap kekanakan, kau cukup dewasa untuk mengurus masalah ranjangmu sendiri."
"Aku akan menginap di apartemen mu malam ini," sepertinya lelaki itu tuli atau apapun itu Dunk tidak mengerti lagi bagaimana cara mengusir mahluk menjengkelkan ini dari hidupnya. Dunk kembali berjalan ke meja resepsionis menyapa pelanggan yang masuk.
"Malam ini kau ingin makan apa?" Si coklat terang itu masih disana, duduk tak jauh dari meja resepsionis dengan ponselnya, ia tidak membaca buku atau apapun hanya menggulir halaman Twitter nya.
"Aku tidak akan makan malam denganmu, apa lagi mengizinkan mu menginap di apartemenku."
Si coklat terang menggerang, "ayolah, kau marah ? Aku baru melakukan lagi setelah satu bulan, dan itu wajar bukan?"
"Archen, kenapa kau tidak pulang saja ke Jogja,"
"Hanya jika kau juga pulang," jawabnya tanpa mengalihkan tatapan dari ponselnya.
Dunk frustasi sudah beribu kali ia mengatakan ia tidak akan menginjak tanah itu lagi kapan kepala batu ini mengerti.
Sebelum tokonya di tutup ia menghitung seluruh pendapatan harian, dan mengepel seluruh lantai, Joong disana hanya menonton sambil tersenyum kecil menyaksikan tubuh kurus itu bergerak kesana kemari seperti lebah.
Terakhir ia mematikan lampu sebelum mengunci pintu.
Jam tangannya menunjukan pukul 17:15 biasanya ia masih akan menghabiskan waktu untuk mengopi sambil memakan kue keju di kafe, atau menonton pertunjukan musik di taman, ia senang melihat anak muda melakukan tarian Korea yang di putar random di taman kota. Kemudian ia akan berjalan ke halte terdekat untuk kembali ke apartemenya. Ia hanya menjalani kehidupan tenangnya seperti itu setiap hari, hanya saat si coklat terang ini tidak mengganggunya dua kali seminggu.
"Aku ingin makan pizza, kau punya cola di rumah?"
"Tidak,"
"Aku akan memesanya sekalian. Setelah itu kita akan menonton film Harry Potter kesukaanmu, kau tau aku hampir menontonnya dua belas kali tahun ini," Joong terkekeh mengusak rambut hitam lembut miliknya, " kau suka Cedric kan, tapi aku suka saat dia mati di turnamen Hogwarts."
"Aku lebih suka Malfoy,"
"Si payah itu? Aku lebih suka Hagrid,"
Hari itu berakhir dengan pasrahnya Dunk mengizinkan si coklat terang menginap di apartemen sempit miliknya. Makan pizza bersama, menonton film bersama, sampai tertidur di sofa yang sama sampai besok paginya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.