Mereka masih terlalu muda dan bodoh dalam memahami perasaan.
Joong terlalu denial pada perasaannya sendiri sampai kemudian takdir mendorongnya lebih dekat pada Dunk.
Dunk sempurna, semua orang setuju, terutama bagi Joong yang selalu memujanya. Tap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kapan terakhir kali Dunk benar benar tersenyum, ia sendiri lupa. Sudah sangat lama.
Dunk menahan diri dari perasaan bahagia itu sendiri, seolah kebahagiaan adalah bumerang yang akan memukulnya dengan keras jika ia merasa terlalu.
Tangannya menggam secangkir kopi hangat, di sakunya terselip setangkai mawar merah, entah bagaimana ia tersenyum tipis dalam perasaan bingung.
Sementara Joong terus menatapnya dengan tatapan teduh yang terkesan kekanakan. Dunk menoleh, dengan berani, mengangkat alisnya dengan mata yang balas menatap, "apa? "
Joong tersenyum lebar, kemudian ia terkekeh mengalihkan pandangannya, mengaku kalah dalam adu tatap ini. "Nda bener ini. " Keluhnya, sambil menyesap kopinya bersiap berdiri. "Ayo cari makan, "
Dunk tidak ingin mencari tau apa ya tidak beres dari yang di lakukannya, ia bangun dari kursi, menunggu lelaki itu melangkah lebih dulu, memimpin jalan.
Tapi seketika ia membeku saat Joong mengenggam jemarinya, sela sela jari mereka bertaut, dalam perasaan hangat, dengan lembut Joong menuntun jalannya.
"Natt, jangan marah. "
Jalan ramai itu tidak terdengar lagi riuhnya, Dunk hanya bisa mendengar kalimat itu yang berdengung di kepalanya. Ia tidak marah tapi hatinya punya ketakutan, sementara Joong masih menggenggamnya erat.
"Tolong tetap biarkan seperti ini " Katanya.
Wajah Dunk masih tidak memberikan respon apapun saat Joong menoleh, itu memberinya sedikit rasa takut, tapi debaran dalam hatinya seperti kobaran api di dalam tungku berisi kayu bakar.
Meskipun ia tidak mengerti perasaan macam apa itu, tapi keinginannya untuk selalu menggenggam jemari ini begitu kuat.
"Natt, kita–"
"Stop, kita tidak membahasnya lebih jauh. " Dunk menarik tangannya dari genggaman, seolah tau apa yang akan di utarakan. Ia berdehem mencoba menghindar dengan tatapan bergetar.
Joong tau Dunk memendam perasaan terlalu banyak, tapi ia tidak mengerti apa yang membuatnya setakut itu, hatinya tergores kecewa dalam tatapannya, namun tidak bisa memaksakan situasi canggung ini.
"Oke, kita cari tempat makan. "
Joong kembali meraih tangannya dalam genggaman, menghindari orang orang yang berjalan cepat berlalu lalang di sekitar mereka.
Restoran kecil itu menyediakan pasta dan anggur merah. Seleranya tidak buruk sama sekali, tapi Dunk sedikit merasa kurang nyaman dengan vibes kencan ini.
Terlebih meskipun ruangan ini semi terbuka, nuansa mewahnya tidak berkurang sedikitpun, beberapa meja kaca bundar dengan sofa hitam mengkilap dan merah bludru di tata simetris, piringan hitam yang mengalunkan musik klasik di sudut ruangan. Suasana yang sangat bagus untuk berkencan, tapi masalahnya disini mereka tidak untuk berkencan, atau apapun namanya.