Mereka masih terlalu muda dan bodoh dalam memahami perasaan.
Joong terlalu denial pada perasaannya sendiri sampai kemudian takdir mendorongnya lebih dekat pada Dunk.
Dunk sempurna, semua orang setuju, terutama bagi Joong yang selalu memujanya. Tap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dew terjerumus. Ia jatuh terlalu dalam Kemudian tertusuk dengan begitu mengenaskan di dasar jurang.
Ia menatap sosok itu dari jauh, menyaksikan senyum indahnya merekah di atas bibir kemerahan yang tak pernah bisa ia miliki. tanpa di sadari Dew telah berdiri disana hampir tiga puluh menit.
Dunk, lelaki yang tidak hanya cantik itu melambaikan tangan, menyapanya. Dew bersedia memujanya jika saja si pemilik raga itu memberinya kesempatan.
London yang dingin membuatnya terlihat lucu, ia menggosokkan tangannya dengan wajah memerah, Dew menghabiskan jarak di antara mereka, dengan seyum paling tulus miliknya.
Di raihnya tangan itu masuk kedalam saku coatnya, "Sudah lama menunggu ku? "
Dunk tersenyum lucu, ia tidak akan menjawab, atau pria dewasa ini akan khawatir.
"Tanganmu dingin sekali, " Komentarnya, ia bermaksud mengorek agar anak itu mengeluh, tapi rupanya ia salah lagi memahaminya.
Dunk menarik tangannya sendiri, ia menempelkannya ke wajah, "kamu sudah tau, ayo kita pergi ke tempat yang lebih hangat. "
Ia berjalan lebih cepat beberapa langkah, menunjukan jalan ke arah kafe yang menyajikan roti harum dengan aroma karamel dan kayu manis yang menggoda hidungnya sejak tadi.
"Mom menanyakan keadaan mu," Dew memulainya, mereka duduk di meja indoor berhadapan dengan kaca besar yang menampilkan landscape coklat artistik london yang dinamis, seperti perasaan mereka saat ini.
Dunk, tersenyum dengan binar matanya yang cemerlang. Dan sekali lagi Dew jatuh tanpa bisa menahan diri.
"Aku baik, katakan padanya aku tidak akan mati dengan cepat,"
Dew mengangguk terkekeh, " Ia selalu khawatir semenjak kau memutuskan keluar dari rumah, "
"Itu bukan rumahku, itu rumah kalian dan aku tidak berhak- Thankyou, " Kalimatnya terpotong begitu saja kala pelayan membawa pesanan mereka.
Sementara Dew hanya ngin menyelami mata itu, usianya terpaut empat tahun lebih muda, tapi anak itu jelas memiliki dunia yang luas dari caranya menatapnya dengan lugas.
"Kamu berhak, karena kami mengizinkannya, Natt."
Dunk menyesap teh panas pesanannya dengan hati hati, camomile memang cocok dengan situasi menegangkan begini. "Setelahnya? "
Dew mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.
"Setelahnya apa yang harus kuberikan?"
"Natt?" Dew mengerutkan wajahnya lebih dari sebelumnya, ia sedikit tersinggung rupanya, tapi Dunk tetap dengan tenang mengigit potongan waffle dari garpunya dengan anggun. "Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu," Katanya naif.
"Aku tidak memiliki apapun untuk membayar, membalas budi, atau apapun itu. Kamu mau tubuhku? Tapi itu juga bekas. "Dunk memperbaiki posisi duduknya yang terasa terlalu santai dan mengabaikan. " Keluarga mu baik, sungguh aku tidak akan hidup sampai hari ini jika saja bukan karena kebaikan mu dan keluargamu, tapi kemudian aku berpikir sampai kapan aku akan berada disana? "
"Selama yang kamu inginkan, kami tidak menginginkan apapun dari mu Natt, "
"Tapi sekarang aku sudah tidak menginginkannya lagi, "
Dew menghela nafas, ia telah kehabisan kata kata. awalnya mereka berjanji untuk bertemu hanya untuk mengobrol santai, tapi kemudian atmosfernya meningkat, Dew salah karena tidak bisa menahan diri untuk tidak menyulutnya. Anak itu hanya terlihat berusaha kerasa untuk mandiri, daripada bersikap sombong.
"Jika kamu butuh alasan untuk kembali ke rumahku, maka ayo menikah, "
Seketika tawa Dunk meledak. Tidak menginginkan apapun katanya lalu lelucon macam apa ini?
"Aku masih 20 tahun apa yang kau harapkan,"
Itu legal, Dunk juga tau. Tawanya perlahan menghilang kala ia menyadari bahwa pria di hadapannya ini cukup serius rupanya.
"Aku tidak bisa, " Dunk menatapnya ragu, akankah ia mematahkan hatinya? "Tapi jika kamu menginginkan tubuhku, aku akan memberikannya, " Katanya dengan cepat.
"Natta." Dew menekan memanggilnya seolah seseorang telah menghinanya.
"Ini faktanya Dew, aku mungkin terlalu muda tapi aku tidak selugu itu, tidak lagi. Tidak ada lagi yang tersisa tidak ada lagi yang berharga, jika kamu menginginkannya maka aku akan memberikannya. "
"Ini tidak seperti aku tidak pernah menyadari perasaanmu selama dua tahun terakhir, berada di rumahmu membuatku merasa semakin buruk, karena tidak bisa membalas perasaan mu. "
Dunk menunjuk kotak merah bludru yang kini berada dalam genggaman tangan lelaki itu. "Simpan saja benda itu, kita bisa melakukannya cuma cuma untuk membalas budi. "
Dunk berbaring di atas kasur putih, tubuhnya masih muda terlihat menggiurkan tanpa sehelai pun benang menutupinya.
Hatinya menciut, bergetar perih seolah seseorang baru saja menggaruknya dengan cakar besi. Tubuhnya meremang lembut kata desiran udara AC menyentuh kulitnya, Dunk ketakutan kala bayangan buruk itu berkelebat di depan matanya seperti kejadian itu baru terjadi kemarin.
Dew tidak melakukan apapun selain menatapnya dengan mata yang memerah, hatinya di rendam kecewa.
Kekecewaan pada penolakan Dunk, kekecewaan pada dirinya sendiri tentang bagaimana ia bisa berdiri di hadapan tubuh telanjang anak ini.
Bukankah ia telah menjilat ludahnya sendiri?
Dunk bukan jalang, dan ia menerima membalas budi dengan cara ini sama saja dengan memintanya menjadi jalang.
Ia terlalu naif, bukan?
Dunk memejamkan matanya kala tangan Dew menyentuh pipinya lembut, di usapnya sampai ke dagu kemudian menyapu bagian dada nya yang ranum.
Tapi ia jelas tau Dunk tidak terangsang, ia ketakutan.
Dunk bisa merasakan tubuh lain mendekat meskipun ia memejamkan mata. Nafas hangatnya berhembus di lehernya sampai Dunk merasakan basah, hangat kemudian ia merasakan hisapan dan gigitan kecil di lehernya.
Hanya sebentar sampai kemudian Dew melepaskannya, meninggalkan jejak merah gelap yang cumenyakitkan.
Tidak ada lagi yang terjadi. Saat Dunk membuka matanya, Dew tidak lagi di sana. Di ruangan besar itu hanya ada dirinya sendiri disana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.