008

7.4K 440 13
                                    

Arson merasakan sakit setiap kali kapas berlapis obat merah menyentuh kulitnya yang terluka. Ringisan yang sama terdengar saat kompres hangat ditempelkan pada bagian yang lebam dan bengkak. Dia tidak bisa banyak bergerak karena tubuhnya sakit semua, jadi sebisa mungkin dia mencoba menahannya saat Vico dan Aksa secara bersamaan mengobatinya.

Sekarang, Arson telah dibawa ke markas Sinister setelah dijemput oleh Aksa dan rekan-rekannya.

"Sebenernya siapa sih yang mukulin lo sampe kaya gini?" tanya Fatah sambil memperhatikan Arson yang tengah diobati.

Arson hanya menggeleng. Dia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih sulit, baik untuk teman-temannya maupun untuk Devon. Oleh karena itu, dia memilih untuk tutup mulut soal siapa pelakunya. "Gua gak liat mukanya. Gua di hadang di tengah jalan, terus langsung di keroyok jadi gua gak sempet liat mukanya, Bang" kata Arson berbohong.

Arson lagi-lagi meringis, bukan karena sakit di tangannya, melainkan karena Fatah yang memicing curiga menatapnya. Sebisa mungkin, Arson berusaha tetap tenang supaya tidak ketahuan sedang berbohong dan sepertinya itu berhasil karena Fatah hanya menghela napasnya pasrah.

"Alter." Satu kata yang Fino keluarkan sukses menarik perhatian semua orang untuk mengalihkan pandangan padanya, termasuk Arson.

"Maksudnya?" Fatah bertanya. "Alter yang mukulin Arson?"

Aksa terlihat bingung. Menatap bergantian antara Fatah dan Fino yang masih setia diam dengan pikirannya. "Tunggu deh! Kok bisa Alter yang mukulin Arson?" tanyanya meminta penjelasan lebih lanjut.

Arson menelan ludahnya sedikit gugup. Dia melupakan fakta bahwa Fino adalah orang yang cukup cerdik jika berursan dengan hal-hal seperti ini. Mengingat relasinya yang banyak, bukan hal sulit bagi Fino untuk mendapat informasi rinci tentang apa yang terjadi.

Vico telah selesai mengobati setiap luka yang ada di tubuh Arson. Dia menyimpan kembali peralatan yang baru saja dia pakai ke dalam kotaknya. "Kenapa sih mereka gangguin kita terus? Mereka nih maunya apa?" tanyanya sembari menunduk sedih, mulai ikut masuk dalam pembicaraan.

Lain lagi dengan Aksa yang menggeram kesal dengan tangan yang terkepal kuat. "Bang, kita gak bisa diem aja. Mereka nih semakin di diemin malah makin brengsek kelakuannya" kata Aksa berujar kesal.

Fatah berdiri, lalu menepuk pundak Aksa sekali. "Tenangin dulu emosi lo! Buat sekarang, kita masih belom punya bukti kuat buat nyerang mereka duluan" katanya untuk menenangkan.

"Tapi, Bang—"

"Stt... Buat saat ini, apa yang Fino bilang masih perkiraan sementara. Kita masih butuh bukti yang lebih kuat lagi buat nyerang mereka. Gak bisa asal nyerang, karena tewuran itu resikonya besar dan jelas berbahaya. Jadi gak bisa sembarangan, cuman demi mentingin emosi sesaat kaya gini" kata Fatah memberi penjelasan serius pada anggotanya itu.

Aksa hanya cemberut menahan rasa kesalnya, tapi meski begitu dia tetap menurut pada ucapan Fatah dan kembali duduk dengan tenang.

Fatah dengan mode ketua memang memiliki aura yang berbeda.

"Makasih ya Vico, udah ngobatin. Gua mau balik dulu" kata Arson yang sudah bangkit. Dia hendak pergi, tapi terhenti ketika Sultan berdiri menghalangi jalannya dengan tangan yang terentang. "Kenapa?" tanya Arson dengan alis yang mengernyit bingung.

"Lu gila? Lo ini abis dikeroyok, terus sekarang mau balik sendirian? Yang bener aja, anjir? Minimal minta anterin siapa kek gitu!" kata Sultan nyinyir sendiri melihat tingkah Arson yang seenaknya.

"Setuju" sahut Fatah mendukung ucapan Sultan dengan kepala yang mengangguk.

Arson menghela napasnya. Dia beralih menatap Fino, berharap terhindar dari perlakuan berlebihan ini, tapi sayangnya, Fino justru melangkah pergi meninggalkan ruangan ini.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang