The hidden story of Rainey Osasille

85 9 2
                                    

PART INI SAYA BUAT KHUSUS UNTUK RAINEY OSASILLE.

Sekaligus menjawab kedekatan Osas dan Hagam. Serta obrolan Darka dan Audric di bab sebelumnya.







"RAINEY!" Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Osas, disusul rasa kebas yang menjalar di wajahnya. Tidak lama, sebab setelah itu ia bisa merasakan sakit serta perih di sudut bibir.

"ANAK KURANG AJAR! SELALU BIKIN SAYA SUSAH!"

Osas bisa melihat kilat kemarahan di mata Baskara, beserta telunjuk yang teracung ke arahnya. Meski pandangannya kian lama kian buram.

"Menyesal Marsha melahirkan anak tidak tahu diri seperti kamu!" Baskara terlihat tidak peduli ketika kata demi kata yang diungkapkannya bisa menyakiti hati Osas. Pria gagah yang usianya menginjak kepala 4 itu tampak begitu berang. "Tahu keturunannya seperti ini, sudah saya pastikan Marsha tidak akan sampai mempertaruhkan nyawanya. Lebih baik kehilangan anak daripada kehilangan istri yang saya cintai."

Osas juga nggak pernah minta untuk dilahirkan. Andai, andai saja Osas sanggup mengatakannya. Ia sudah kelewat sering mendengar kalimat menyakitkan itu dari Baskara---ayahnya. Tetapi kenapa ia tidak pernah bisa untuk terbiasa?

Ia teramat tahu, nyawanya tidak sebanding dengan nyawa ibunya- Marsha. Jika tahu akan seperti ini, ia sudah pasti memilih untuk tidak terlahir daripada membiarkan Marsha bertukar nyawa.

"Keluar! Nikmati hukumanmu malam ini."

Osas menatap dalam sepasang mata Baskara. Berharap bisa menemukan kehangatan, barangkali bisa untuk menghangatkan tubuhnya di luar nanti. Ia tahu saat ini tengah hujan deras. Tapi bukannya merasa hangat, Osas justru merasa kian sesak, sampai-sampai embun yang tertahan di kantung matanya pelan merembes turun.

"Maafin Rain, Yah."

Kata Andara, untuk mengambil hati orang yang kita sayang, kita perlu melakukan hal-hal baik. Memanjakan orang itu, kalau dengan orang tua terkhusus ayah, mungkin bisa dengan melakukan pijatan. Menyiapkan makan. Atau menghidangkan segelas teh hangat.

Osas memilih opsi terakhir. Ia membuatnya spesial untuk Baskara, serta merta dengan harapan-harapan sederhana kalau Baskara akan memberinya pujian sebagai bentuk apresiasi. Tapi celakanya, ia tersandung karpet beludru di ruang kerja Baskara, membuat tubuhnya oleng ke depan dan berakhir segelas teh hangat itu terjun bebas mengenai laptop yang berisi data-data penting perusahaan.

"Gue suka hujan, tapi kalo datangnya sama petir, gue takut. Gue merasa saat itu Tuhan lagi marah."

"Rain itu hujan. Tapi hujan yang ini nggak bikin orang kesakitan, justru bikin orang bahagia dan bisa ketawa lepas."

"Tapi, gue takut ayah bikin kesenangan gue sama hujan berubah jadi rasa takut."

Osas menjulurkan tangannya, menampung air hujan yang dinginnya seolah menembus kulit. Hujan malam ini deras sekali, cukup untuk menggambarkan hatinya yang bergemuruh berisik.

"Gue kayaknya cukup apes dalam hal kasih sayang," gumamnya sambil tersenyum tanpa arti. Tapi karna itu ia jadi meringis ngilu, lupa Baskara meninggalkan bekas tamparan di sana. "Tapi, kenapa gue nggak bisa buat berhenti berharap?"

Osas mengusap lengannya yang dingin. Ia memutuskan duduk di lantai, lututnya ditekuk dan tubuhnya disandarkan pada pintu yang dikunci dari dalam.

"Kalo ibu masih ada, apa mungkin gue bakal punya keluarga harmonis kaya orang lain?" monolognya lantas memejamkan mata. Dingin dan riuh hujan seolah jadi pendongeng yang mengantarkannya pada rasa kantuk.

"Rainey," ujar seseorang. Osas terpaksa membuka matanya, dan tanpa sadar bibirnya mengulas senyuman tipis. "Seharusnya gue nggak termakan sama janji lo buat nggak berakhir mengenaskan seperti ini lagi."

STILL ALDA (On the WGKG side; Esmeralda)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang