13. Are we?

563 46 2
                                    

'I can hear you telling me I'm not enough. The only thing I feel was never really real.'

-Jacob Lee-

***

"Apa akhirnya otakmu bisa berpikir jernih, huh?" ejek Thomas seraya menyandarkan punggung ke sofa saat Ryder menemuinya. Dalam hati, dia tertawa akhirnya si kepala batu ini menemukan karma.

Yang ditanya hanya melenggut singkat, mengusap wajah digelayuti gundah akibat tak mendapatkan pemaafan. Nyaris dua minggu. Sejujurnya, Ryder tidak mengira bisa berjumpa dengan Alexia di toko buku waktu itu. Mulanya hanya bermaksud mencari-cari hadiah yang pantas untuknya sebagai bentuk penyesalan sebelum menemuinya secara pribadi.

Namun, tidak pernah Ryder duga bahwa Alexia terlanjur sakit hati dan bakal sulit membujuknya kembali ke arena seluncur sebagai tim. Gadis itu pun enggan membalas pesan maupun menjawab panggilan telepon. Hal yang sangat jarang Ryder lakukan.

"Apa rencanamu selanjutnya? Waktu terus berjalan Ryder." Thomas menerka-nerka jalan pikiran Ryder yang tak pernah bisa ditebak. Dia terlalu lelah menghadapi sikap plin-plan anak didiknya ini daripada dihadiahi bogem mentah.

"Entahlah." Intonasinya terdengar pasrah selagi jemari kanan Ryder memijit pelipis seakan menekan-nekan apa pun yang bisa keluar dalam pikiran. "Menurutmu apa dia bakal bersedia bergabung lagi?" tanyanya berselubung cemas.

Alis tebal Thomas naik sebelah mendengar pertanyaan yang meluncur dari bibir Ryder. "Kau sendiri? Semua keputusan ada di tanganmu, aku tak akan memaksa seperti kemarin daripada kita berkelahi."

Ada jeda cukup lama tercipta manakala kepala Ryder mengorek-ngorek segudang jawaban yang terendap di batang otaknya. Dia merauk udara mengisi kekosongan di relung dada, memilah-milah mana yang kiranya pas untuk menggaet hati Alexia lagi. Menurutnya, perempuan pasti punya satu sisi lemah yang sengaja diselipkan di bagian terbawah ego mereka sehingga tak tampak membutuhkan rayuan manis bercampur pengampunan dari pria.

Sialnya, untuk membobol bagian ini merupakan hal tersulit bagi Ryder.

Sensasi pening makin menjadi-jadi akibat tak kunjung memperoleh jawaban. Mendadak, Ryder berdiri begitu saja, menyambar dan mengenakan jaket biker membuat Thomas mengerutkan kening kebingungan.

"Mau ke mana kau?"

"Apartemen Alexia," jawab Ryder.

Sebelum Thomas menanggapi kalimat Ryder, lelaki itu melengang begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Thomas hanya bisa geleng-geleng kepala namun dia akan menunggu hasil akhir apakah dua manusia keras kepala itu mau bekerja sama. Dia berharap kalau Tuhan mau membukakan hati Alexia maupun meluluhkan ego Ryder demi kemenangan di depan mata.

###

Bentley continental hitam yang dikendarai Ryder berhenti di basemen bangunan apartemen Alexia di kawasan Bloomsbury. Dia keluar seraya menenteng tas karton berisi cokelat premium yang dibungkus kotak hitam berlabel keemasan dan berhias pita senada, sebuah kartu ucapan, serta sebuah buku yang disampul plastik bening. Terlihat klise memang, tapi apa boleh buat. Ini satu-satunya cara yang kiranya sanggup memikat walau tak tahu apakah bisa menarik minat.

Kaki Ryder yang terbalut chukka boots bercumbu dengan permukaan kasar basemen yang menggaung memantulkan suara. Dia bergegas menuju lift, memencet tombol angka lima. Kotak besi langsung membawanya perlahan-lahan selama beberapa detik sebelum berdenting dan pintu bercat silver metalik tersebut terbuka lebar.

Tease Me, Baby (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang