10. Deserves to be happy, right?

575 42 2
                                    

'But it ends with us. That's all I know. Doesn't make it any easier letting us go.'

-April Jai-

***

Sekitar pukul sebelas siang manakala pendar matahari lebih bersemangat dibanding hari-hari sebelumnya, Ryder menuruti perintah Lucas menemui pendamping kejiwaan sekaligus dosen di kampusnya dulu. Butuh waktu berhari-hari hingga bersedia berkendara ke kediaman Denny Collins, seorang professor yang dipercaya keluarga De Verley dalam menangani trauma pasca kecelakaan yang dialami Ryder. Dalam diam, dia menyusuri jalanan lengang ke kawasan Enfield berjarak sekitar satu jam dari Belgravia.

Begitu sampai di sebuah bangunan rumah tua berdinding bata kemerahan, Ryder mengarahkan Bentley kesayangannya masuk ke halaman di mana ada mobil sedan tua hijau terparkir. Sama seperti tiga tahun lalu atau ketika Ryder masih menempuh pendidikan di universitas Oxford, pohon besar di depan hunian Denny bagai penjaga malas yang daunnya melambai-lambai ditiup angin. Ada juga kursi kayu bercat putih kusam tengah membisu di teras bersama satu meja bundar serta di bawahnya pot-pot bunga menguncup malu.

Ryder keluar dari mobil seraya merapatkan jaket kulit menaiki undakan tangga yang berderit ketika diinjak. Dia berpikir kalau seharusnya sang dosen merenovasi rumah berusia puluhan tahun ini dibandingkan mempertahankannya dengan alibi harta warisan dari buyut yang perlu dijaga keasliannya.

Bel berbunyi dua kali dan tak lama seorang pria berusia sekitar tujuh puluhan mengenakan sweter biru gelap berambut ginger muncul di balik pintu. Senyum lebar terukir di bibir tebal Denny saat menyambut Ryder dan langsung memberinya pelukan hangat layaknya anak sendiri.

"Aku tidak menyangka kau akan mampir setelah sekian lama. Masuklah!" ajak Denny menyilakan Ryder. "Karen juga menantimu, Ryder. Dia memanggang kue cukup banyak sekalian kau bisa membawanya pulang."

Ryder tersipu atas kebaikan istri Denny. "Oh iya? Aku sangat suka kue buatan Karen, mengingatkanku pada nenekku sendiri. Thanks!" Pandangannya mengedar ke berbagai interior vintage yang digilai sang pemilik rumah.

Benda-benda antik terpajang di ruang tamu, mulai jam dinding tua yang belum lelah berdetak, rak berisi buku-buku bersampul cokelat gelap yang baunya khas, lemari kayu memanjang berhias bingkai foto yang mengabadikan momen dirinya bersama keluarga juga anak-cucu. Dia mendudukkan diri di atas sofa Chesterfield berbahan kulit cokelat tua yang masih kokoh. Meraba bagian lengan yang bergulung serta detail kancing seraya membatin bagaimana Denny merawat segala hal berbau tempo dulu.

Denny mendaratkan pantat berhadapan dengan Ryder lalu berkata,"Kuucapkan selamat atas kembalinya dirimu ke turnamen, Ryder. Kau tahu, cucuku menggemarimu."

Ryder hanya melenggut dan tersenyum kecut. Denny mengerutkan kening menangkap kegelisahan di balik raut lelaki tersebut. Saat menerima pesan darinya subuh tadi, Denny sudah menerka jikalau ada sesuatu yang mengganggu Ryder.

Ada jeda cukup lama sampai Karen--istri Denny--menyuguhkan secangkir teh dan camilan sebelum memberi ruang bagi Ryder berkonsultasi bersama suaminya. Ada keraguan merebak dalam dada yang sangat ingin Ryder paksa keluar. Namun, lidahnya terlalu kaku sekaligus bingung harus dari mana dan bagaimana dia memulai. Segalanya rumit. Segalanya terlalu berat.

Terlebih aku melukai Alexia.

Pada dasarnya, kemampuan Ryder tak serta merta hilang akibat kecelakaan itu. Dia masih ingat teknik lompatan axel, lutz, waltz, salchow, juga putaran-putaran ganda dalam tingkatan sulit sekali pun. Dia sialan hafal, tapi tidak dengan koordinasi tubuhnya.

Tidak dengan kesalahan yang kuperbuat.

Tanpa sadar kornea Ryder memerah dan berkaca-kaca. Dia menggigit bibir bawah lalu perlahan-lahan berkata, "It's complicated, Denny."

Tease Me, Baby (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang