12. Is there a chance for us?

540 44 8
                                    

'I'm sorry if I seem uninterested or I'm not listenin' or I'm indifferent. Truly, I ain't got no business here.'

-Alessia Cara-

***

Alexia mengeratkan syal saat menengadah ke arah langit tanpa gemintang berganti bulir-bulir salju turun perlahan setelah keluar dari toserba. Dia menaruh barang belanjaan di keranjang lalu mengayuh sepeda menuju toko buku di ujung jalan. Iris mata biru terangnya menyapu sekitar, bibirnya melengkung membentuk senyum saat mengamati orang-orang lalu lalang bersama pasangan maupun anak-anak yang terlihat begitu menikmati akhir pekan. 

Di saat seperti ini pula, ada gumpalan rindu sekaligus rasa bersalah terhadap teman-temannya sebab Alexia terlalu lama menghilang. Dia yakin kalau mereka pasti mengkhawatirkan kondisinya, namun ... badai yang menerjang Alexia kemarin tak bisa dibagikan kepada mereka. Bukan karena malu, melainkan Alexia merasa perlu menenangkan diri dari semua orang. Meski seringnya dia menyakiti diri sendiri.

Dia bertekad akan membalas pesan-pesan mereka juga mengirimkan sestoples kue kering sebagai bentuk penyesalan. Jika mereka luluh. Tak lama, hidung mancungnya mengendus roti yang dipanggang menggugah selera, Alexia berpikir kalau sebaiknya dia membeli segelas latte dan cookies sebagai teman terbaik menghabiskan beberapa novel.

Begitu sampai di gerai bernuansa vintage, Alexia mendorong pintu kaca bersamaan tangan besar terbalut perban menyentuh jemari lentiknya. Seketika dunia berhenti berotasi ketika berserobok dengan si empunya tangan menyedihkan itu. Matanya membola mendapati sosok tinggi besar yang sudah lama tak ditemui akhirnya muncul.

Aku tidak berhalusinasi kan?

Entah kenapa, Alexia menangkap aura lelaki di sampingnya ini tidak sedingin gunung es seperti awal-awal perjumpaan mereka. Binar matanya pun tidak setajam dulu ketika Alexia pernah menawarkan bantuan, lebih ke sesuatu yang bersifat teduh. Bibirnya juga tak mengerut masam karena menggumamkan kekesalan, melainkan menyunggingkan seulas senyum layaknya seorang teman lama yang baru bersua, meski terkesan kikuk.

Semerbak wangi tubuh Ryder yang terkesan misterius membelai indra penciuman Alexia. Bila diurai, dia akan merinci kalau bebauan yang menguar dari balik mantel hitam tersebut mirip jaket kulit berbaur manisnya karamel dan vanila juga tonka bahkan mint yang hangat. Entahlah, Alexia tidak memahami parfum macam apa yang dikenakan Ryder yang pasti hal itu benar-benar menggambarkan dirinya.

Si moody yang membingungkan.

Ekor mata Alexia teralih pada balutan perban di tangan Ryder. Lelaki itu langsung menarik dan menyembunyikannya di kantong mantel saat Alexia melempar pertanyaan,

"Kau kenapa?"

Shit! Kenapa kau peduli, Lex? Rutuk Alexia menyesali pertanyaan yang meluncur begitu saja.

"Hanya tergores," jawab Ryder terdengar asal-asalan. "Kau? Matamu-- ehm maksudku kenapa kau tidak menjawab teleponku?"

Kontan gadis itu memicingkan mata penuh selidik. Ada urusan apa dia tiba-tiba menghubungi setelah sekian lama tidak berbicara bahkan ... meminta maaf? Alexia bergerak mundur membiarkan seorang wanita memasuki gerai. "Untuk apa menjawab teleponmu, Mr. De Verley?"

"Karena aku ingin menemuimu. Aku tadi mampir ke apartemenmu dan kau tak ada di sana," ujar Ryder mengusap rambutnya yang mirip rumput yang baru dipangkas habis.

Tease Me, Baby (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang