kaleidoscope

908 183 17
                                    

Lisa meletakkan pengering rambutnya di atas wastafel granit berwarna abu. Pun ia memandang sosoknya yang sudah mengenakan dress midi putih dengan lengan yang tak melebihi siku.

"Wah aku sudah menjadi istri orang." Ucapnya kepada diri sendiri.

Pesta pernikahan telah usai beberapa jam silam. Para kerabat telah kembali pulang begitu pula keluarga suaminya.

Pukul sembilan kurang sedikit. Lisa dan Jaemin direncanakan untuk menghabiskan malam pada fasilitas vip room yang terbundling ketika menyewa ballroom untuk resepsi mereka. Tentu saja semua ini disiapkan oleh ibu mertuanya. Bahkan jadwal malam pertama mereka pun sudah diatur sedemikian rupa.

"Kalian harus mengakrabkan diri. Bersenang-senanglah malam ini. Segera berikan ibu cucu yang lucu." Ucap Na Miran beberapa saat lalu sebelum berpamitan pulang. Seringai senang pun tak disembunyikan wanita paruh baya itu.

Ah, lantas setelah ini apa yang harus Lisa lakukan? Apakah Jaemin akan menyentuhnya malam ini? Apakah Lisa sudah siap?

Tentu saja. Aku harus siap.

Sembari menarik nafasnya, Lisa pun melangkah keluar dari kamar mandi untuk mendapati Jaemin sudah memakai jaket kulitnya seakan lelaki itu hendak pergi entah kemana.

Jaemin menyadari kehadiran Lisa beserta wajah penasaran wanita itu, "Aku akan ke studio sebentar. Ada beberapa masalah dengan lagu kami. Hanya aku yang bisa menyelesaikannya." Ucap pria itu sembari memasukkan dompet ke dalam saku celananya.

Lisa mengangguk paham.

"Ah, tolong jangan katakan hal ini kepada ibu." Timpalnya lagi saat sudah hampir menutup pintu dan meninggalkan Lisa yang masih berdiri di ambang kamar mandi.

Sebenarnya, ada perasaan lega di dada Lisa. Meski sudah tak lagi muda, nyatanya ia memang tak pernah berkencan hingga memiliki pengalaman pribadi dalam hal itu dan ini. Adegan romantis pada novelnya, didasari oleh pembelajaran pada drama, literasi lain, interview, hingga menerawang imajinasi. Tapi jika diharuskan untuk praktek, jelas Lisa tidak tahu apapun.

Yah, selama hidupnya Lisa dituntut sang bibi untuk selalu pulang tepat waktu karena harus mengerjakan pekerjaan rumah, kerja sambilan, dan menjadi samsak kekesalan sang bibi pula. Lisa tak punya waktu untuk berkencan dan melakukan hal tak berguna. Pernah sekali, ketika SMA, ada lelaki yang menyukai Lisa dan bersikeras untuk mengantarnya pulang. Kejadian itu tertangkap basah oleh sang bibi, dan si lelaki itupun dimaki habis-habisan oleh bibinya hingga tak berani lagi mendekati Lisa. Sedangkan dirinya? Tentu saja dihajar habis.

Ketika kuliah pun, Lisa harus mengambil tiga kerja sambilan agar bisa membayar uang kuliah dan biaya hidup bulanannya dengan sang bibi. Jika memiliki waktu luang, Lisa akan memakainya untuk menulis. Siapa sangka, hal itulah yang akan membawanya kepada kesuksesannya hari ini.

Ah, untung saja bibinya begitu mencintai uang. Dan untung saja Lisa bisa meraih kesuksesannya sebagai novelis. Jika tidak, pastilah ia akan membusuk dengan bibinya hingga tua nanti.

Kruuuuk.

Cacing di perut Lisa mulai menyuarakan pendapatnya. Dengan segera, wanita yang sudah mencepol surainya itupun mengangkat telepon untuk memesan beberapa menu. Kemudian, Lisa mengambil laptop pada tas yang bertengger pada sofa.

Nampaknya, bukan hanya Jaemin yang akan produktif dalam pekerjaan meski ini adalah hari pernikahan mereka. Lisa pun demikian. Dalam beberapa waktu, wanita itu sudah berkutat dengan ratusan kata yang terjejer dalam laptopnya.

Lisa segera menutup telinganya dengan headphone begitu makanan yang ia pesan telah sampai kepadanya. Ini adalah kebiasaan Lisa. Ia harus menyumpal telinganya saat menulis novel atau membuat naskah. Jika tak begitu, ia takkan mampu fokus.

PlötzlichTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang