009

7.1K 417 6
                                    

Sekolah selalu menjadi tempat yang seru menurut Devon. Dia senang ketika melihat guru di depan sana menjelaskan banyak hal tentang sesuatu yang belum Devon mengerti, membuatnya menjadi paham tentang alasan hal-hal sederhana yang membuat dunia ini bekerja.

Meskipun bukan murid pintar yang selalu dapat peringkat terbaik di kelasnya, tapi Devon selalu fokus mendengar segala ilmu baru yang disampaikan. Setiap harinya, Devon selalu menatap antusias dengan matanya yang sesekali melebar dan kepala yang mengangguk-angguk kecil karena mengetahui hal baru. Menurutnya itu adalah hal yang menarik.

Devon selalu saja merasa kecil, bodoh, dan tidak tau apapun ketika memasuki kelas ini, maka dari itu dia sangat bersemangat mengetahui banyak ilmu baru yang diajarkan supaya dia bisa mengisi dirinya dengan hal-hal luar biasa yang menarik untuknya.

Seperti murid kebanyakan, Devon juga tidak pernah bisa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Dia selalu kesulitan mengerjakannya, terutama matematika dan ekonomi. Devon sangat lemah terhadap dua mata pelajaran itu. Uang dan angka, dua hal yang tidak Devon sukai di dunia ini, meski tidak dapat dipungkiri bahwa semua manusia butuh uang, tapi justru itu lah bagian paling menyebalkannya.

Devon berdiri dari duduknya dan mendekati salah satu meja perempuan yang dari tadi dipenuhi oleh kerumunan teman sekelasnya. Saat ini jadwal di kelas mereka adalah pelajaran matematika dan semua orang itu berkerumun memenuhi meja murid paling dengan peringkat pertama di kelas ini untuk mengajari cara mengerjakannya, tapi ada juga beberapa dari mereka yang hanya langsung meminta jawabannya saja.

Sama halnya dengan Devon. Dia mendekat juga karena merasa kesulitan mengerjakan salah satu nomer dan ingin minta diajari oleh Jenna yang terlihat lebih mengerti bagaimana cara mengerjakannya.

Dari banyaknya orang yang menutupi meja Jenna, Devon berdiri di paling belakang tertutup oleh orang lainnya yang bertubuh lebih tinggi. Dia menggenggam buku tulis di tangannya, sambil sesekali berjinjit untuk mengintip pusat keramaian itu, lalu kembali lagi menunggu sampai semua orang ini selesai diajari oleh Jenna.

Devon mengetukan jarinya pada buku sambil melihat kembali apa yang dia tulis, supaya ketika dia sudah bicara dengan Jenna, dia bisa langsung mengatakan kesulitannya.

Ketika Devon menurunkan bukunya, dia melihat meja Jenna telah sepi. Tidak ada lagi orang yang berkerumun di mejanya, maka dari itu Devon bergerak maju.

Jenna mendongak ketika mendapat buku tulis yang diletakkan di mejanya. Dia mengernyit sinis melihat kehadiran Devon di sampingnya. "Mau apa lo kesini?" tanyanya.

"Em... Jenna, gue gak ngerti soal ini" Devon bicara sambil menujuk soal yang ingin dia tanyakan. "Bisa tolong ajarin gue caranya? Kalo soal kaya gi-"

"Halah, ajarin-ajarin, bilang aja lo mau nyontek kan?" Jenna bicara memotong perkataan Devon yang belum selesai. Hal ini mengejutkan Devon yang langsung mendongak bingung. "Gak. Lo gak boleh nyontek tugas gua. Usaha sendiri lah sana!" kata Jenna berseru sarkas.

Devon memiringkan kepalanya dengan alis mengernyit bingung. "Gue cuman tanya caranya aja. Kalo soal kaya gini pakenya cara yang mana?" tanyanya lagi dengan nada polos yang tidak disengaja.

"Bohong! Palingan juga ujungnya nyontek tugas gua, kan? Lagian orang kaya lo mau dijelasin kaya gimanapun juga gak bakal ngerti, jadi percuma gua kasih tau caranya. Udah pergi sana! Ganggu aja sih!"

Devon berdiri kaku mendengar semua perkataan Jenna. "Apa salahnya ka-"

"Ada apa ini? Saya suruh kalian menegerjakan soal, bukan malah ribut begini" kata Guru dengan tegas.

"Ini pak, Devon mau nyontek tugas saya, ya saya gak kasih dong pak. Enak aja dia mau nyalin tugas saya gitu aja, padahal saya yang capek-capek mikir buat ngerjain!" kata Jenna mengadukan hal yang tidak benar kepada Guru itu.

Devon menatap kaget atas apa yang Jenna ucapkan. Matanya sudah mengkilap karena air mata yang coba dia tahan sebisanya agar tidak tumpah. "Enggak, pak. Saya cuman tanya caranya doang" kata Devon membela diri.

"Bohong tuh dia, pak. Alesannya doang itu"

"Sudah-sudah! Lebih baik kamu kembali ke tempat kamu lagi ya, Devon! Kerjakan sendiri-sendiri dengan kemampuan sendiri, meski hasilnya jelek itu jauh lebih baik dari pada hanya menyalin punya orang lain. Kamu mengerti kan, Devon?" kata Guru tersebut.

Devon hanya mengangguk pasrah. Dia berjalan kembali ke tempat duduknya dengan kepala yang terus menunduk, sebenarnya dia menutupi air matanya yang sudah menetes keluar tanpa kendalinya. Dia langsung menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan ketika dia sampai di mejanya.

"Kenapa Jenna jahat? Devon kan cuman tanya caranya aja padahal. Tadi aja orang-orang liat jawaban Jenna dibolehin, tapi kenapa Devonnya gak boleh tanya caranya?" Devon mengeluh dalam hatinya. Isi kepalanya saat ini hanya pertanyaan-pertanyaan tidak jelas yang mempertanyakan dirinya sendiri. Dia mengingat apa kesalahannya sampai Jenna tidak mau mengajarinya, tapi sekeras apapun dia berpikir, Devon tetap tidak mendapat jawabannya.

Devon ingat kemarin Jenna juga bicara jahat seperti itu ketika sedang bersama Arson. Apa mungkin Arson yang mengatakan hal tidak-tidak tentang dirinya kepada Jenna? Iya. Devon mengangkat kepalanya secara tiba-tiba setelah mendapat ujung dari benang kusut dalam pikirannya. Mungkin Jenna bersikap begitu bukan karena Devon yang melakukan kesalahan, tapi karena Arson yang mempengaruhi supaya membenci dirinya.

Devon menoleh ke kiri, tepat di jendela, Devon mendapati Arson yang berdiri di sana tengah menatap ke arahnya. Devon tidak salah lihat kalau dia adalah orang yang Arson tatap dengan tatapan mata yang sangat menyeramkan baginya. "Arson orang jahat. Matanya aja serem gitu, bikin Devonnya takut aja sih" batinnya.

Ketika Devon dan Arson saling bertatap mata, ekspresi tajam Arson berubah menjadi senyuman lembut. Namun, Devon memutuskan untuk memalingkan wajahnya sambil mendengus cemberut.

Hal ini jelas membuat Arson langsung menukikkan alisnya. Memang Devon selalu begitu, tapi alih-alih membuang muka, biasanya Devon lebih sering mengacungkan jari tengah padanya ketika mereka tidak sengaja berpapasan atau saling tatap seperti tadi. Arson berpikir, apa Devon masih salah paham padanya karena masalah Jenna kemarin?

Entah kenapa semua hal kecil tentang Devon sekarang membuat Arson terusik. Dia menghela napas dan kembali melangkahkan kakinya menuju ke belakang sekolah untuk melakukan kegiatan rutinya yaitu membolos.

Di belakang sekolah, Arson merokok dengan alis yang menukik dan mata yang menyorot tajam pada objek kosong di depannya. Dia memikirkan Devon.

Arson melihatnya, melihat semua kelakuan Jenna, tapi sialnya dia tidak bisa mendengar apa yang gadis itu katakan pada Devon. Namun, satu yang Arson yakini dengan sangat, kalau Devon menangis. Sebab ketika tadi mata mereka bertemu, Arson dapat melihat dengan jelas mata bulat itu sedikit basah karena sisa air mata.

Siapapun bisa membohongi Arson, tapi matanya tidak mungkin salah lihat. Arson yakin sekali kalau Devon habis menangis. Arson penasaran, kenapa Devon menangis? Apa yang Jenna katakan sampai mampu membuat Devon menangis?

Arson menghisap dalam-dalam batang rokok di tangannya, kemudian dia hembuskan kembali sehingga menimbulkan jejak kepulan asap yang menguap di udara. Setelah itu, dia menghela napas frustasi. Sudah dua kali Jenna membuat Devon menangis karena mulut sialannya itu. Kalau saja di dunia ini tidak ada hukum, maka ingin rasanya Arson menjahit mulut gadis itu supaya diam.

Arson sudah bersama dengan Jenna sejak mereka berada di sekolah dasar dan Arson tau betul bagaimana mulut gadis itu ketika berbicara. Hal itu lah yang membuat Arson sangat malas jika bertemu dengan Jenna. Gadis itu selalu saja merepotkan dia karena ucapannya.

"Merokok di area sekolah itu pelanggaran besar!"

Arson terlonjak kaget mendengar suara seseorang. Akibat terlalu fokus berpikir, dia sampai lupa harus waspada pada sekitarnya. Dia melupakan kemungkinan bahwa ada anggota Osis yang akan berpatroli kesini.

"Sial" umpat Arson yang hanya bisa terdiam di tempatnya.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang