SDAK-8 (revisi)

19 13 0
                                    

Selamat membaca
Lagu yang ku gunakan untuk menulis ini adalah, I Live My Life For You by firehouse

(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)
Di sore yang sama waktu Inggris. Sebuah keluarga tengah sibuk mempersiapkan berbagai hal menjelang malam natal yanga akan tiba sebentar lagi.

24 Desember 1991. Salju turun dengan lebat. Banyak orang bilang bahwa salju adalah hadiah musim terindah yang diberikan tuhan setiap tahunnya. Maka, tak sedikit orang yang tak akan melewatkan keajaiban musim yang hanya terjadi setahun sekali itu.

Sama halnya dengan Kenneth kini. Ia tidak melewati setiap detik salju yang turun setelah dikecup surga. Ada ketenangan tersendiri ketika menatap salju. Warnanya yang putih seolah mengatakan bahwa mereka masih suci karena langit baru saja menurunkannya. Namun, warnanya yang putih seketika menjadi butek kala manusia menginjakknya.

Tangannya mulai mendingin bak es. Dengan hanya menggunakan sehelai sweater, kini ia tengah berada tapat di depan jendela sudut rumah. Memperhatikan bagaimana pekarangannya mulai memutih.

Sedari kecil ia memang menyukai salju, dan pasti tidak akan absen walau untuk hanya melihat bagaimana salju-salju tersebut turun.
Dinginnya suhu sudah sangat terasa. Dan kobaran api di perapian juga sudah mulai melebur kayu dengan panasnya. Tak sedikit dari anggota keluarga yang menatap heran kepadanya.

Bagaimana tidak? Sudah hampir 2 jam ia berada di sana. Dan sungguh ini agak menjanggal.

“Hey, mate? Everything okay?” tanya Kale, adik kembar Ken. Ia pun merasa heran dengan sang kakak kembar kini.

Lamunan Ken pun terbuyar karena kehadiharan adikknya. Ia mengangguk yakin. “Everything going well.”

Namun, Kale menatapnya curiga. “Iya! Aku serius!”

“Kau tak biasa begini. Semua orang khawatir melihat tingkahmu yang tak biasa. Melihat hal yang sudah sering terjadi berulang-ulang. Memangnya apa yang spesial sih dari salju kali ini? Apakah Madonna juga ikut turun memebersamainya?” tanya Kale penasaran ikut menatap ke luar jendela.

Ken tersenyum sekilas. “Kau baik-baik saja ‘kan?” tanya Ken balik sembari memberikan punggung tangannya ke dahi sang adik.

Kening Kale berkerut bingung. “Sepertinya kau yang tidak baik-baik saja sekarang,” kata Ken yang mulai menyadari kebingungan Kale.

Mengambil tindakan, Ken berjalan meninggalkan sang adik yang masih termenung menatap kepergiannya. Menuju dapur di mana ada seorang wanita yang tak lagi muda tengah memasak di sana.

“Hi, mum! Masak apa kau?” Ken mencium pipinya dari samping setelah bertanya.
Nyonya Miller itu nampak menghembuskan nafas panjangnya akan kehadiran sang putra yang dirasa mendadak. “Oh dear, kau hampir saja mengagetkanku!”

My bad, mum.” Nyonya Miller mengangguk setelah menerima pengakuan sang anak yang mengaku salah.

Is something wrong? You look...”
“Seperti seseorang yang tengah jatuh cinta? Eh?” timpal Kale, ikut mengomentari. Ken menatapnya tajam.

Dan nyonya Miller ikut menatap Ken dengan tatapan curiganya. “Benar begitu, Ken?”
“Tunggu! Jadi kau percaya?” Nyonya Miller mengangguk-angguk. Ken menepuk jidatnya pasrah.

“Tapi benar ‘kan?” Kale menimpali. “Diam kau!” balas Ken dengan suara meninggi.
“Hey, kalian sudahlah. Jangan bertengkar di sini! Mum sedang memasak. Menjauh dari sini sekarang, atau kalian tidak ikut makan malam,” tegas nonya Miller.

“Tapi mum—“

“Tidak ada tapi-tapi. Mum tidak butuh penolakan. Lagipula Kale, kakakmu sudah besar, memang sudah saatnya dia mencari pasangan. Begitupula kau! Jadi stop bertingkah layaknya anak kecil,” sela nyonya Miller pada Kale.

“Baik mum,” balas Kale sembari menunduk lesu, dan Ken menatapnya penuh kemenangan.

Mereka berdua pun kembali bersama menuju ruang tengah yang di mana sudah dipenuhi banyak dekorasi menyambut natal. Dan tak sedikit pula beberapa dari saudara besar mereka berada di sana.

Ken mengambil duduk di salah satu sofa yang kosong, dan Kale mengikutinya. Sebenarnya ia masih penasaran dengan jawaban dan reaksi sang kakak tadi saat ia memancingnya.
“Jadi benarkan?” kata Kale membuka suara.

“Apanya?”

“Sudah jujur saja.”

Ken menatapnya geram. “Apanya? Kenapa?”

“Tentang kau yang sudah memiliki pacar?”

“Tidak,” jawab Ken singkat. Ia tak mau menambah rumor yang belum pasti menyebar ke seluruh keluarganya sebelum makan mala nanti.

Kale nampak tersenyum menggoda. “Hey, tak apa. Aku tak akan bocor.”

Bulshit.

Ken sontak mengerutkan dahi dan menatapnya. “Kalau tak salah, namanya Emilia ‘kan?” Ken semakin terkejut ketika Kale melanjutkan perkataannya.

Tunggu! Bagaimana bisa?

Ken menatapnya curiga. “Kau—“

“Aku tahu dari Andrew. Dia bilang kalau selama di Jakarta kau sedang dekat dengan seorang gadis. Bagaimana? Cantik tidak?” tanya Kale berondong.

“Lalu apa hubungannya denganmu?"

“Ya aku harus tahu, gadis seperti apa yang akan menjadi kakak iparku.” Ken mulai sedikit curiga ketika sang adik mulai berkata serius begini.

“Dan aku harus tahu, apakah ia benar-benar menyayangi kau, atau tidak?” Saat mendengar itu, dengan reflek yang tak ia sadari, Ken mulai menyunggingkan senyum.

“Tapi tunggu! Kau sudah menyatakan perasaanmu belum?” tanya Kale dan Ken menggeleng. Kale menjentikkan jarinya. “That's it! Itu dia kelemahanmu,” lanjut Kale dan Ken menatapnya tak terima.

“Kau harus tau Ken! Perempuan butuh kepastian. Ia akan meninggalkan pria yang tidak kunjung memberinya kepastian.”
Ken menatap adik kembarnya senduh. “Lalu, bagaimana ayahnya yang menentang lebih dulu?”

“Itu adalah resiko. Kau harus berjuang! Berjuang meyakinkan orang tuanya,” balas Kale membentuk kepercayaan diri Ken.

“Ayo! Semangat!” kata Kale tanpa bersuara sembari memberikan gaya semangat.

                        ~o0o~

***



****

Balik lagi. Intinya gitu jangan lupa vote komen!

Lots of love, Enay

Samudra di Antara Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang