SDAK-9 (revisi)

16 12 0
                                    

Please leave your voments ya..

(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Kenneth POV.

Setelah acara makan malam keluarga sudah selesai, kami sekeluarga pun memutuskan untuk bermalam bersama di ruang tengah. Bernyanyi bersama, bermain, bertukar pikiran,  dan menikmati malam di detik-detik menuju hari natal.

Ini adalah budaya keluargaku di sini. Saling berbagi kehangatan bersama. Bukan hanya malam natal saja, tetapi di saat-saat tertentu yang mengharuskan kita berkumpul.

Dan kali ini, sebagian keluarga besarku memilih rumahku sebagai tempat untuk menyatukan kebersamaan. Ditemani dekorasi khas natal dan tak lupa pohon natalnya, kami bersama-sama di sini menuju pergantian hari.

Tak sedikit dari keponakanku nampak tak sabar untuk membuka kado-kado yang berserakan di bawah pohon natal. Aku bahagia dengan kehangatan ini.

Kini, aku tengah terduduk di salah satu sisi sofa yang kosong, memperhatikan riuhnya rumahku.

Ditemani segelas coklat panas, aku kembali menatap diam ke arah luar. Saljunya semakin lebat. Aku terpana akan keindahannya.

Seolah, menghitung banyaknya salju bagaikan menghitung rinduku padanya. Ia selalu saja menyeruak di ingatanku bak sebuah parfum.

Aku memang sengaja tak meneleponnya lagi. Bukan karena aku mundur sebelum berperang, tapi karena aku butuh waktu untuk sendiri dulu, dan membiarkannya pulih dahulu dari sakitnya.

Aku tak marah ataupun berat hati saat ayahnya Emilia mengatakan bahwa jangan ganggu anaknya dulu. Menurutku, ia benar. Ia melakukan hal yang seharusnya orang tua lakukan.

Dan mungkin, aku yang seharusnya lebih mempersiapkan diri jika memang perasaan ini benar-benar untuknya. Karena, akan banyak resiko yang akan terjadi kedepannya jika aku mengambil perasaan itu.

Aku paham rasa apa ini.

I knew.

"Oh dear." Mum mengejutkanku. Membuyarkan lamunanku.

Ia mengambil posisi duduk tepat di sebelahku. 
"Kau kenapa?" katanya bertanya padaku. "I'm okay, mum," balasku menggeleng.

"Hey, I know what you're hiding from me. Just tell me why, and I'll always support you, my dear." Ia mengelus pundakku dengan lembut.

Mama, betapa manisnya ia. Masih sama seperti dulu.

Aku pun tersenyum. "As you know, mum."

"Kau.. sedang mencintai seorang gadis, bukan?" Aku kembali tersenyum sebagai jawabannya.

"Oh.. lihatlah sekarang putraku sudah besar. Sudah bukan Miller junior lagi," katanya sembari memelukku. Aku merindukan kehangatan dari dekapannya ini.

"Tak apa, dear. Mum akan selalu mendukungmu apapun itu keputusannya. Kau sudah besar sekarang, dan sudah seharusnya begini. " Ia menepuk-nepuk punggungku disela dekapannya.

"Jika begitu, apakah suatu saat aku boleh bertemu dengannya?"

Deg!

Pertanyaannya bak petir yang menyambar tubuhku. Aku tertegun.

Aku mengangguk. "Tentu, mum. Aku akan membawanya padamu suatu saat." Ia membalasku dengan senyumnya. Aku sangat menyukai itu.

"By the way.. bagaimana cara kalian bertemu?" tanyanya penasaran.

"Kami bertemu di restoran tempatnya bekerja, mum. She's a independent woman, and I like her."

"Lalu, apakah kau sudah menyatakan perasaanmu padanya?"

Aku menggeleng. Mum mencubit lenganku keras. "Mum tidak pernah mengajarkan kau untuk tarik ulur begini ya! Cepat beritahu! Jika tidak, kau harus siap ketika orang lain menyatakannya lebih dulu."

"Mum.."

"Now, Kenneth a Miller," kata mum menyebut nama lengkapku. Ia tak biasa seperti ini. Dan jika ia sudah memanggil nama lengkapku begini, itu artinya dia sedang benar-benar serius sekarang.

"B-but, h-how?"

Ia menghembuskan nafas gusar. "Telepon dia sekarang."

Aku pun mengiyakannya dengan langsung melangkahkan kakiku menuju telepon rumah kami.

"Hey!" Mum memanggilku kembali. Aku menengok kearahnya.

"Jangan lupa berdoa. Kau tak lupa bukan jika sekarang adalah malam natal? Mungkin tuhan akan mendengar doa mu di malam ini," katanya memberi nasihat. Aku tersenyum dan mengangguk sebelum ku kembali melanjutkan langkahku.


***

Haii jangan loupa voments yaa..

Lots of love,  Enay.

Samudra di Antara Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang