Selamat membaca..
Satu purnama lebih telah berlalu. Malam natal, mungkin akan menjadi hal yang tak terlupakan ketika langit malam nan sunyi menjadi saksi bisu atas pengakuan dari sang pria asing melalui alat penghantar suara.
Dengan degupan jantung yang berpacu begitu cepatnya, Ken dengan lantang mengatakan akan perasaan yang sebenarnya terhadap Emilia. Namun, seakan bumi dan langit ingin menyamai persepsinya ketika dengan spontan petir datang memukul tanah. Aku terdiam.
Tetapi, siklus itu kembali terulang ketika ia dengan yakinnya sekali lagi, mengatakan hal yang sama tepat di malam pergantian tahun. Aku terdiam.
Romantis bukan? Seakan langit merdu berkicauan dengan warna-warna menghiasi langit malam seolah semakin mendukung deklarasi cinta sang pria asing tersebut.
Walaupun hanya dengan gelombang suara, tetapi itu saja sudah cukup mampu untuk menggetarkan hati dari masing-masing.
Jarak yang begitu besar, seakan memeluk mereka dalam perbedaan signifikan yang tak dapat mereka pungkiri. Namun, tanpa sadar mereka melumpuhkan perbedaan tersebut. Aku terdiam.
Namun.. seakan dukungan indah dari sang langit itu tidak mampu mengoyak hati sang gadis kala ia memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan ekspektasi para penonton. Ia kecewa.
Sabahat pena..
Adakah yang salah dari kata tersebut?
Dua kata singkat tersebut.. mampu menyeruak kesunyian malam dengan menggerogoti hati sang pendengar. Aku terdiam.
Tidak, Ken tidak mengikuti ego kebanyakan pria pada umumnya yang lebih memilih untuk menjauh setelah cintanya ditolak. Ia.. memilih kedua kata itu sebagai pendampingnya, status baru di antara mereka.
Baiklah.. tidak rumit bukan? Teman pena? Why not?
Dan selama itu mereka juga sepakat, untuk saling bertukar kabar melalui gelombang suara dengan tempo 2 Minggu sekali.
Bukan lagi Inggris sebagai negara sang penelepon. Melainkan Uni Emirat Arab. Setelah pergantian tahun itu, ia kembali bekerja sebagai teknisi di sana.
Sebagai sahabat pena.. tentunya mereka acap kali bertukar surat ataupun suara melalui benda penghantar suara itu. Menanya kabar menjadi salah satu alasan utama akan berderingnya telepon itu.
14 Februari 1992.
Sekarat jingga derenggut malam. Tanpa ragu ia melepasnya sampai langit berubah kelam.
Begitu banyak pengunjung yang berdatangan di restoran itu. Tak sedikit Emilia melihat para pengunjung yang datang bersama pasangan dengan membawa benda-benda yang sebelumnya sudah mereka siapkan.
Coklat dan bunga, adalah kedua benda romantis yang acap kali dibawa dihari Valentine ini.
Hari yang begitu melelahkan. Disaat ia ke sana kemari membawa pesanan, memberikan menu atau bill ke para pembeli.
Tepat ketika jarum panjang jam dinding membusur ke angka 9, setelah semua tugasnya telah usai, ia pun memutuskan untuk lebih dulu pulang.
Namun.. tepat ketika berada di area parkiran, she got her eyes on him.
Iris coklat itu.. kembali ia tangkap kehadirannya.
Dia datang. Sembari membawa mawar merah dan kuning di buket yang sama, dan sebuah boneka beruang di tangan lainnya.
Heran? Tentu! Bagaimana tidak? Baru saja kemarin mereka bersua dengan gelombang suara, dan sekarang? Dengan tiba-tibanya ia hadir dihadapan sang gadis.
"It's been a long time, right?" ucap Ken membuka suara.
Emilia mendekat perlahan dengan tatapan terheran akan kehadiran sang pria asing itu. Ia sedikit memiringkan kepalanya. "K-kau? T-tapi untuk apa?"
Ken terkekeh singkat. "Of course to see your face, Em." Emilia mengerutkan dahi.
"I mean, my pen pals face," lanjut Ken terkekeh sembari jarinya membentuk angka 2. Peace..
Tetapi tatapan dari sang iris hitam itu masih menajam, bak sebilah pedang. Ia menatapnya curiga.
"Berhenti menatapku seperti itu!"
"Look! Kali ini aku datang tidak tangan kosong," kata Ken sembari sedikit mengangkat kedua tangannya yang telah penuh ia genggam buket bunga dan sebuah boneka dengan gaya yang sedang memegang hati bertuliskan 'I Love You'.
Emilia menatapnya bingung. Untuk apa itu semua? Batinnya bertanya.
"Jika kau ku suruh untuk memilih, bunga warna apa yang akan kau ambil?" Ken bertanya dan Emilia masih menatapnya bingung.
Memilih? Bahkan ia saja tak mengerti untuk apa bunga itu hadir?
Tanpa pikir panjang, Emilia menggedikkan bahunya dan mengambil salah satu bunga di buket yang sama itu. Mawar kuning.
"Baiklah, jika begitu, biarlah aku yang memilih mawar merah ini."
Ken ber-smirk dengan spontan. "Sudah kuduga sebelumnya." Emilia menatapnya tajam dan menggerakkan mulutnya seolah berkata Apa?
"Kau tau apa makna warna dari mawar yang kau ambil?" Emilia menggeleng, Ken menghela nafas sejenak. "Mawar Kuning. Melambangkan persahabatan."
"Then?"
"That's great! Kita memang sahabat bukan?" seru Emilia. Ken memutarkan bola matanya. "Up to you."
"Lalu, untuk siapa beruang kecil yang lucu inii??" Emilia mengalihkan topik pada sebuah boneka beruang yang berada di tangan kiri Ken.
Ken memutar bola mata. "Untuk siapa lagi jika bukan untuk gadis cantik dihadapanku ini?" Emilia memukul lengannya. "Hey!" Ken terkekeh senang.
"Aku tak ingin mengulangi perkataanku seperti sebulan yang lalu, tapi kutahu, kau pasti mengerti,"
"Mawar merahku, kau balas mawar kuning. Aku tak apa, sungguh," kata Ken dalam.
"At least, we're under the same sky."
***
Lots of love, Enay.
![](https://img.wattpad.com/cover/357774933-288-k106738.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Samudra di Antara Kita
RomanceMenceritakan tentang sebuah pertemuan dua orang insan yang tidak di sengaja. Yang berakhir pada sebuah hubungan ikatan rasa di antara mereka. Perasaan yang timbul dari hati masing-masing yang membuat mereka memutuskan untuk menjalin cinta. Jarak ada...