SDAK-10 (revisi)

22 12 0
                                    

Please leave your voments here.. I waiting for you..

(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Kenneth POV.

Jemariku mulai memutar angka demi angka. Mengingat-ingat kembali setiap nomor yang ia ucapkan saat itu. Tak akan aku mengulangi kesalahan lagi seperti saat awal aku meneleponnya.

Dan tak lupa aku arahkan kedua lubang telepon ini ke bagian mulut dan telingaku. Teleponku berdering! Buru-buru ku susun kata demi kata serapih mungkin saat telepon ini terangkat. Tak lupa aku juga sudah menyiapkan jawaban jika bukan ia yang mengangkat teleponku.

Ya Tuhan.. berikanlah aku kesempatan untuk berbicara padanya di malam ini.

Terusku lambungkan doa demi doa seperti apa yang dibilang mum tadi. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.

“Halo?”

Itu.. dia.

“Di sini Emilia. Dengan siapa saya bicara?” tanyanya menggunakan bahasa Indonesia yang tak kupahami maksudnya.

Aku pun menjawabnya, “It's me. Ken, Em.”
Suasana jadi hening seketika. Aku dapat mendengar deruan nafasnya. Tapi ada apa? Apakah aku salah meneleponnya?

Are you okay?” tanyaku. “Oh, hai. I'm fine.” Balasnya singkat.

“It's been a few days, right?”

And it's been a long time for me,” kataku menambahi perkataannya. Sungguh, entah kenapa ini jadi agak canggung di antara kami. Seketika semua rencanaku lenyap saat mendengar suaranya yang teduh.

How are you doing?” kata kami berbarengan setelah kesunyian menyita.

You first.”

“No, leadis first,” kataku. “As i told you early. I'm doing fine, Ken. And, what about you?”

Aku mengangguk mantap, meski ia tak bisa melihatnya. “Me too. But..”

“Tapi?”

“I think, I missing you.”

And yeah, kesunyian itu kembali datang menculik suasana kami. Sepertinya aku salah. Tak seharusnya aku bicara seperti itu.

Namun, ia tertawa di tengah sunyi. Aku mendengarnya tertegun.

“Kau ini. Selalu saja bercanda.”

“Tidak aku—“

“Baiklah Tuan Miller. Tak apa aku tahu kau hanya bergurau. Ngomong-ngomong, bagaimana? Pasti kau sudah sampai di negara asalmu bukan?” Ah sudahlah, ia terus saja memotongku. Ya, aku memang akan sedih jika kupikir ia akan benci padaku setelah aku mengatakan itu. Tapi aku akan lebih sedih lagi jika pengakuanku barusan malah dikira sebuah candaan:(

“Mr. Miller? Are you still there?” Dan, suara itu kembali menginterupsiku.

“Yeah, I'm here. Aku sudah sampai rumah, Emilia.”

“Baiklah, aku ikut tenang mendengarnya. Kau tahu? Kuharap kau merasa senang ya selama berada di sini. Semoga hari-harimu di Jakarta akan menjadi kenangan indah yang tak akan kau lupa.”

Of course, Em. It's a must!” balasku pada harapannya. Tentu saja, saat ini Jakarta adalah hal terindah bagiku.

Ku lirik jam yang merayap di dinding. Ku dengar setiap detiknya yang berbunyi. Dan kepalaku mulai menghitungnya.
OH GOD!

Samudra di Antara Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang