SDAK-14 (revisi)

17 10 1
                                    

Happy reading guys! And please leave your voments!

Kenneth's Point of View.

Sakit. Seakan hujan ini berusaha menusukku dengan rintiknya yang tajam. Aku terpejam sebentar, menyesapi rintik hujan yang tajam ini.

Semua pakaianku tentunya basah. Namun, aku tetap bersikeras bertahan di posisi yang sama. Sembari tangannku menggenggam sebuah boneka beruang dan sebungkus coklat, aku berdiri tepat di depan rumahnya.

Sesekali ku panggil namanya lantang, dengan harap ia akan mendengarnya.

Memang, ini sepenuhnya salahku. Datang kemari tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Tapi aku harus bagaimana? Sedangkan pesawatku akan take off nanti malam. Aku tak ingin mengulangi penyesalan yang sama.

Ngomong-ngomong, soal darimana aku tahu alamat rumahnya, kemarin setelah selesai memakan coklat, aku sempat memberi usul untuk segera menghantarnya pulang menggunakan taksi. Dan motornya? Ku suruh untuk bermalam di sana.

Dan untunglah aku masih mengingat alamatnya yang sempat ia katakan kepada supir taksi kemarin. Tetapi seolah alam sedang tidak mendukungku saat gemuruh hujan ini dengan spontannya datang menyerangku. Bertepatan sekali saat aku tidak membawa payung.

Baiklah, kembali ke topik.

Dapat ku melihat dari pagar yang setinggi dadaku ini, pergerakan intens yang terjadi dari gagang pintu rumahnya. Seolah menunjukkan adanya pergerakan dari dalam sana.

Senyumku menyungging sempurna. Harapku penuh syukuran. Akhirnya penantianku ini berujung sudah.

Tetapi..

Saat pintu itu terbuka.. bukanlah wanita yang ku kenal yang keluar. Melainkan.. seorang gadis yang memiliki wajah yang mirip seperti Emilia. Dan dapat ku simpulkan ia adalah Tiffany, adik Emilia.

Tak apa.. senyumku tetap menyungging untuknya.

"Kau siapa?" tanya Tiffany dengan nada keras yang masih bersembunyi di balik pintu.

"Ken! Aku Ken. Teman kakak mu. Kau pasti Tiffany bukan?" balasku yang hampir berteriak, karena disamping jarak antara pagar dan pintu rumah yang jauh, suara hujan pun turut mendominasi.

Dan, dahiku berkerut bingung saat ku lihat pintu itu kembali tertutup dengan tempo yang cukup cepat. Aku terbelalak kaget.

Bingung? Tentu! Ada apa ini sebenarnya? Apa aku memang tidak diperkenankan untuk datang ke rumahnya? Apa Tiffany mengiraku pembohong yang berusaha menipunya? Apa keluarganya yang tidak ingin menerima tamu untuk sekarang ini? Atau bahkan.. Emilia yang tidak ingin bertemuku lagi?

Sungguh, aku merasa tak enak. Ini memang salahku. Seharusnya aku berkomunikasi dulu sebelum datang dengan percaya dirinya.

Ku dongakan kepalaku ke atas. Menatap langit yang sedang menangis, dengan sesekali ku mengedip atau memicingkan mata akibat rintiknya yang menusuk mataku.

Oh Tuhan.. apakah aku salah? Apakah mencintainya adalah sebuah kesalahan?

Tak berselang aku pun kembali mengembalikan kepalaku ke posisi semula. Ku tatap kembali pintu rumahnya, tertutup rapat seolah tak menginginkan kehadiran ku ada di sana.

Ku hembuskan nafas panjang sebelum aku memutuskan untuk berbalik dan kembali berjalan menjauh dari rumahnya.

Mungkin ini memang bukan salahku, tapi memang takdir.. yang nyatanya tak mempersatukan kita.

Tapi..

"KEN!" Suara itu.. ah, sudahlah. Imajinasi ku mengendalikanku kini. Suara itu terputar di belakang kepalaku.

Samudra di Antara Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang