Malam itu, Arson mengenakan seragam putih abu di bawah jaket jeansnya seperti malam sebelumnya. Dia menghentikan motornya di depan minimarket unruk membeli rokok, karena yang sebelumnya sudah dia habiskan. Penjaga minimarket ini adalah temannya, jadi Arson dengan mudah mendapatkan sekotak rokok meskipun masih mengenakan celana abu-abu khas anak SMA.
Arson berjalan keluar sambil memantik korek untuk menyulutkan api pada batang rokok yang sudah dia apit di celah bibirnya. Saat gulungan tembakau itu berhasil menyala, asap menguar ketika dia bernapas.
"Devon?" Arson bergumam dengan alis mengernyit ketika matanya melihat sosok cowok bertubuh kecil yang sedang berdiri di depan salah satu toko mainan yang berada di seberang jalan sana.
Dari jauh, Arson mengamati Devon, dengan matanya yang berbinar-binar, menatap penuh minat pada etalase yang dipenuhi mobil-mobil remote control. Arson yang melihat itu, langsung berjalan menghampiri.
"Lo ngapain disini?"
Devon tersentak kaget saat mendengar suara tiba-tiba yang mengintrupsi. Dia berbalik dan langsung mengerucutkan bibir kesal ketika mendapati Arson berada di dekatnya. "Gak ngapa-ngapain" katanya dengan nada sinis.
Arson menggedikan bahunya sekali, lalu beralih menatap mobil remot control yang berjejer di etalase. "Kenapa ngeliatin ini? Lo mau?" tanyanya asal, menebak berdasarkan intuisi sekilas di kepalanya.
"Bukan urusan lo"
"Lo mau mobil yang mana? Gua beliin" kata Arson sambil mengeluarkan dompet di saku celananya.
Devon mulai melirik Arson, dia menundukan kepala sambil memainkan bajunya dan mendekat pada Arson dengan ragu-ragu. "Emang boleh Devonnya beli ini?" tanyanya sambil menunjuk salah satu mobilan yang di letakkan di rak paling atas dalam etalase itu.
Arson mengangguk. "Boleh. Devon boleh bebas pilih yang lo suka" katanya.
Mata bulat itu kembali memancarkan binar cerah yang menggemaskan. "Boleh pilih yang mana aja?" tanyanya lagi.
"Iya boleh. Pilih aja, biar gua yang bayar!"
Devon lagi-lagi menunduk dengan tangan yang tidak berhenti memilin ujung baju yang dia kenakan, alisnya menukik cemas. "Emangnya gapapa kalo Devon beli mobil itu? Arsonnya bener bolehin? Kalo harganya mahal gimana?" tanyanya merasa tidak enak hati.
"Gapapa. Udah ayo pilih aja yang lo mau" Arson menarik tangan Devon untuk masuk dan memilih mainan yang dia inginkan.
Devon langsung menghambur ke sudut tempat setiap mainan mobil remot itu bersusun rapih. Matanya melebar takjub, dengan mulut yang sedikit terbuka, tangannya mengambang di udara seperti merasa takut untuk menyentuh mainan di depannya. "Wah..." gumamnya seolah melihat sesuatu yang sangat menakjubkan.
"Jadi, lo mau mobil yang mana? Yang di atas itu?" Arson menunjuk mobil yang dimaksud.
Kepala Devon mendongak untuk melihat arah tunjukan Arson. Matanya semakin berbinar dengan tubuh yang berdiri kaku, terpesona melihat mainan mobil tersebut. "Itu... Mahal banget, Arson" cicitnya berbanding terbalik dengan ekspresi mendamba yang tergambar jelas di wajahnya.
Tanpa berkata lagi, Arson mengambil kotak berisi mobil remot itu sambil menggandeng tangan Devon. Arson mengeluarkan sejumlah uang berwarna merah setelah nominal harganya di sebutkan oleh si penjaga, lalu memberikan bungkusan belanja itu pada Devon yang masih terdiam di sampingnya.
Bahkan sampai Arson menuntun Devon untuk keluar dari toko itu, Devon masih tetap diam tidak bersuara. Dia hanya mengedipkan matanya beberapa kali menatap Arson dengan pandangan yang tidak percaya.
"Ini diambil dong mainannya!" kata Arson akhirnya memaksa tangan Devon untuk mengenggam kantong itu dengan benar. Baru lah Devon tersadar dari lamunannya.
Devon melihat ke dalam isi kanton belanja yang ada di tangannya. Berkali-kali melihat bergantian antara mobil mainan itu dengan Arson. "Ini... Bener buat Devon?" tanyanya yang masih tidak percaya.
"Ya iya. Itu udah di beli, udah lo pegang juga, ya artinya beneran buat lo"
"Tapi ini mahal sekali, loh. Emm...berapa ya tadi? Satu... Dua..." Devon menatap tangannya sendiri kemudian menyodorkan kesepuluh jarinya di hadapan Arson. "Segini, loh. Mahal sekali pokoknya..." katanya.
Arson tertawa gemas. Dia mencubit pelan pipi Devon. "Gapapa. Udah di beli, jadi lo bisa ambil mobilnya itu. Sekarang itu punya lo. Di jagain ya biar gak rusak!"
Senyum manis mengembang di wajah Devon. Matanya berseri-seri memancarkan rasa bahagia yang dapat dilihat dengan sangat jelas. Devon memeluk bungkusan berisi mobil mainan yang dia pegang, sedangkan tangan satunya memegang ujung jaket yang Arson kenakan.
"Arson makasih, ya. Pasti dijagain kok mobilnya, janji" Devon menyodorkan jari kelingkingnya di hadapan Arson, berharap mendapat balasan pada kelingkingnya, tapi yang Devon dapatkan justru usapan lembut di pucuk kepalanya yang kembali membuat dia terdiam.
"Lo mau gua anter pulang gak?" Arson menawarkan, tapi tidak ada balasan sama sekali dari lawan bicaranya. Dia menoleh dan mendapati Devon yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Arson berbalik dan kembali berjalan menghampiri Devon. "Kenapa? Kok diem aja? Gak seneng sama mainannya, ya?"
Devon menggeleng sambil menunduk. "Devonnya seneng banget sama mobil ini, tapi..."
"Tapi?" Arson mengernyit.
"Tapi Devon gatau mau mainin dimana" Devon mendongak menatap langit dengan jari yang kembali di ketukan pada pipinya, terlihat seperti kebingungan. "Kalo di rumah, pasti mobilnya bakal cepet rusak jadi Devon gak bisa main-main ini disana. Harus dimana dong Devonnya ini bisa main mobil-mobil?" tanyanya pada diri sendiri.
Arson berhasil di buat gemas setengah mati dengan tingak Devon ini. Ingin rasanya dia gigit Devon sekarang. "Yaudah, lo boleh main di rumah gua, gimana?" kata Arson kembali memberikan penawaran.
Devon langsung menoleh. "Boleh?" tanyanya bersemangat.
"Iya boleh. Ayo!" Arson langsung menarik tangan Devon menuju motornya.
Berlama-lama melihat tingkah Devon membuat hatinya terasa sesak oleh rasa gemas yang menyerangnya. Arson tidak tahan merasakan jantungnya yang berdetak sangat cepat karena perasaan menyenangkan yang hinggap.
Selama perjalanan mengendarai motor, Arson banyak diam karena terus memikirkan satu hal. Apakah dia jatuh cinta pada Devon? Satu hal ini terus menganggunya. Jika benar, maka tidak perduli apapun karena Arson jelas akan memperjuangkan perasaannya. Tidak perduli Devon anggota geng musuh atau apapun itu, Arson tidak akan mau perduli yang penting dia bisa mendapatkan Devon.
Namun, sebelum itu dia perlu meyakinkan perasaannya terlebih dulu. Dia harus mencari tau apakah benar perasaan ini adalah rasa cinta atau hanya ketertarikan melihat tingkah gemas yang Devon lakukan.
Seiring dengan isi kepalanya yang penuh oleh satu nama, Arson membawa motornya melaju cepat membelah jalanan malam. Dia sengaja membawa motornya melewati jalanan yang memutar, seperti ingin berlama-lama bersama dengan Devon yang terus menempelkan tubuh pada punggungnya.
Nyaman. Arson merasa nyaman ketika Devon menarik kecil dua sisi jaketnya sebagai alat berpegangan. Maka dari itu, Arson mengurangi laju kecepatan motornya, melepas satu tangan dari stir dan memegang satu tangan Devon yang menggenggam erat jaketnya. Devon tidak protes sama sekali. Dari spion Arson memastikan kondisi orang yang dia bonceng. Terlihat Devon yang sedang menatap jalanan di sekitarnya sambil tersenyum tipis. Melihatnya membuat Arson juga ikut tersenyum.
______________________
Happy new year!!
Nah, sebagai bentuk perayaan tahun baru, kali ini gua up tiga chap sekaligus. Harusnya ini di up lebih cepet tadi, tapi karena satu dan lain hal jadi baru bisa di up sekarang
I can only give this as a New Year's gift, so I hope it makes you happy and enjoy reading y'all
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...