Episode 8 : Real Life

112 25 3
                                    

"Who's the lucky one here?" -Lia


.・。.・゜✭・

.

.

.

Lia turun dari mobil yang berhenti tepat di teras rumah. Tidak, ini bukanlah rumahnya. Beberapa saat lalu ibunya mengabari bahwa lia tidak perlu pulang ke rumah. Sebab lia harus menemui seseorang yang sudah dijanjikan sang ibu untuk menjadi mentor dalam study nya.

Gadis itu menghela nafas berat sebelum mendorong gagang pintu yang tinggi menjulang. Rumahnya cukup mewah dengan nuansa tenang didominasi warna pastel. Sebelumnya lia hanya diminta langsung ke rumah ini, tapi ia tidak tahu sang ibu sudah tiba atau belum.

Lia benci kecanggungan jika ia hanya sendiri. Semoga dugaannya tidak benar terjadi. Setelah pintu terbuka, lia langsung disambut oleh beberapa maid yang menuntunnya menuju ruang tengah.

"Owh.. Sudah datang." Seorang wanita berpenampilan rapi turun perlahan dari lantai atas.

Lia refleks bangkit dari duduknya lalu membungkuk hormat menyambut sang tuan rumah.

"Tidak apa-apa. Santai saja. Ibu mu sudah mengatakan nya padaku." Ucapnya kembali mempersiapkan lia duduk.

"Nee... Terima kasih sudah bersedia menjadi mentor saya."

Wanita itu menampilkan senyum manisnya melihat tingkah sopan lia. Ada sedikit rasa bangga pada anak sahabatnya itu, saat ini jarang anak muda mau bertingkah sopan seperti ini. Jadi artinya sahabatnya itu berhasil mendidik walau sedikit mengekang.

"Hahaha, katakan pada ibumu semua akan baik-baik saja." Kekehnya.

"Mau istirahat dulu? Kau mau apa nak? Di jam seperti ini biasanya anak muda lebih senang mengemil sesuatu. Hmm... Biar ku buatkan sesuatu." Lanjutnya lalu beranjak menuju dapur.

"Tidak usah, tidak apa-apa." Lia mengulum senyumnya saat wanita itu tidak mengindahkan perkataannya. Rasa sungkan tumbuh dihatinya saat ini.

"Tidak apa-apa, sama sekali tidak merepotkan." Ucapnya sembari menepuk pundak lia pelan lalu pergi kearah dapur.

Lia kembali duduk. Ia sesekali melirik kearah dapur. Merasa lebih tenang, akhirnya lia mengabari ibunya. Balasan dari sang ibu pun cepat. Seakan sudah menunggu dari tadi.

Tak berselang lama makanannya pun datang. Tidak banyak, hanya beberapa cemilan ringan dan buah serta jus segar. Saat siang seperti ini memang sangat nikmat jika meminun jus jeruk.

"Jus nya bisa menambah vitamin tubuh saat siang terik seperti sekarang." Ujar wanita itu.

"Terima kasih, mentor choi."

"Tidak! Kau tidak perlu memanggilku begitu. Sapa saja dengan bibi."

"Aa.. Bibi choi?" Wanita itupun mengangguk setuju. Jujur lia juga bingung harus menyapa dengan apa. Ibu nya tidak mengatakan apapun.

"Baiklah. Lia, ini adalah beberapa surat persetujuan mentorin khusus bidang kedokteran. Kau cukup menandatangani ini sebagai persetujuan." Bibi choi menyerah lembaran kertas di map dihadapan lia.

"Setelah selesai, kita bisa memulainya kapanpun kau mau. Bibi akan bersedia. Tapi..." Lia yang semula menyimak kini melirik wanita yang belum sempat menyelesaikan ucapannya.

"Bibi tidak bisa jauh dari rumah. Atau kau mau kita mentorin disini saja? Bibi akan menyiapkan 1 ruangan khusus nantinya." Lanjutnya.

"Memangnya ada apa?" Tanya lia sembari mengambil lembaran itu.

The parallel universe || txtzy ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang