VIII : Java, dunia itu mirip dengan wahana

319 37 3
                                    

Kini Java duduk di depan danau sendirian, tanpa teman. Bahkan Ricky sudah pulang lebih dulu karena dijemput oleh ayahnya, sedangkan Java malah mengetahui sebuah fakta saat dia pulang.

Saat Java sedang merenung sendirian di danau yang sepi itu tiba-tiba rasa dingin menempel di pipinya.

"Ngapain ngelamun?" Tanya Jaegar lalu menyodorkan sebungkus es krim itu kepada Java, dan Java menerimanya dengan senang hati.

"Java habis nangis?" Tanya Jaegar lagi tapi Java hanya menggeleng sebagai tanggapan.

"Kenapa? Gara-gara Hesta?"

Java yang mendengarnya hanya menggeleng lagi dan lagi.

"Bilang dong kenapa, harus banget kakak yang nebak? Kayak kuis berhadiah aja."

"Java udah makan?" Tanya Jaegar untuk yang kesekian kalinya dan Java hanya menggeleng.

"Mau makan apa? Java laper kan?"

Java hanya mengangguk. Sedangkan Jaegar kini hanya bisa menghela nafasnya lalu mendekat ke arah Java dan memegang kedua pipi Java agar Java mau mendongak dan menatap ke arahnya.

"Coba cerita kenapa? Kak Jaegar daritadi tanya tapi Java gak mau jawab, sebenarnya ada apa sih?"

"Java hanya sedih karena mama."

"Mama? Mamanya Java?"

"Benar. Tadi mama ke rumah nenek dan berbicara fakta yang baru saja Java tau."

"Kak Jaegar, apa tuli itu sebuah kutukan yang bisa membuat orang itu berdosa?"

"Java makan ya? Kak Jaegar tadi bawa bekal, bikinnya sih numpang di rumah temen, tapi dijamin rasanya enak."

"Kak Jaegar jawab." Setelah menggerakkan tangannya Java mulai menggoyangkan tangan Jaegar agar menjawab pertanyaannya.

"Kak Jaegar jawab kok, tapi sambil makan ya. Kasihan perut Java bunyi terus." Balas Jaegar lalu mulai menyuapi Java di depan danau. Danau itu adalah tempat favorit Java semenjak malam itu, dimana Jaegar mengajaknya untuk makan malam di luar saat dia di rumah sendirian menunggu kakak dan neneknya pulang.

"Enak kan?"

"Jawab pertanyaan Java."

Jaegar yang membaca gerakan tangan itu lantas tersenyum dan mulai menjawabnya. "Java, kekurangan atau kelebihan itu bukan kutukan, tapi anugerah dari Tuhan yang paling indah. Tuli itu bukan aib atau dosa, tapi sebuah keistimewaan tersendiri untuk Java. Tuhan cuma mau melindungi Java dari suara mengerikan dunia."

"Jadi apa Java harus melepas alat ini?"

"Enggak, Java boleh pakai alat itu. Tapi Java gak boleh mengeluh sama suara mengerikan dunia dan manusia. Java harus belajar terima semuanya. Manusia memang suka berbicara tanpa memikirkan perasaan lawannya, bahkan terkadang mereka tidak sadar dengan apa yang mereka katakan."

"Tuli tak selamanya menjadi salah, tapi normal juga tak selamanya terlihat indah."

"Tapi karena alat ini Java jadi tau kalau ternyata Java itu pembunuh."

[✓] Java dan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang