Pagi ini, Java sudah membuka mata saat Jendra terdengar sedang menyibakkan gorden ruangannya hingga gerimis bisa Java saksikan dengan matanya untuk yang terakhir kalinya. Hawa dingin ikut masuk dari celah jendela dan ventilasi udara di sana, bahkan embun terlihat menempel di kaca besar tersebut sehingga kamu mungkin bisa menggambar disana tanpa perlu kanvas lagi, walaupun tak akan bertahan lama.
Saat Jendra menoleh dia kaget karena Java sudah membuka matanya.
"Anda sudah bangun tuan?"
Mendengar pertanyaan Jendra, Java langsung mengangkat satu tangannya dan membuat bahasa isyarat dengan itu. Tapi sayang Jendra tak mengerti hingga Hesta masuk dan menerjemahkannya untuk Jendra.
"Kata Java,"
"Jangan basa-basi dan jemput Ricky."
"Pergilah." Suruh Hesta setelah menerjemahkan bahasa isyarat yang Java gerakkan sehingga Jendra mengangguk dan pamit untuk pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Java. Kamu beneran mau ketemu Ricky?"
"Memangnya kenapa?"
"Enggak. Kakak cuma tanya."
"Yasudah kalau begitu Java mau beristirahat, karena tangan Java rasanya sakit."
"Baiklah, kalau begitu beristirahatlah kakak akan pergi keluar sebentar." Balas Hesta sehingga Java menutup matanya perlahan dan Hesta keluar dari sana.
Setelah Hesta keluar, Java membuka matanya kembali, dengan nasal cannula yang membantunya bernafas Java menatap sekitarnya dengan tatapan kosong. Entah kenapa Java tak merasa terbantu sedikitpun oleh nasal cannula yang dokter pasang sebagai alat bantu bernafas.
Perlahan Java berusaha untuk duduk dan mengambil buku diary nya dari tas kesayangan, lalu menyobek satu lembar kertas dari sana dan menuliskan kata-kata singkat yang entah untuk apa tapi rasanya Java benar-benar ingin menulisnya.
Tak berselang lama tulisan tangan tersebut selesai dan Java melipatnya lalu menaruhnya di atas nakas samping bangsalnya, tepatnya di samping vas bunga pemberian Jendra.
Setelahnya secara tiba-tiba dada Java terasa sesak sampai dia merasa kesulitan untuk bernafas. Java terus menekan dadanya sampai tangannya memukul-mukul bangsal karena dadanya terasa sakit, alat itu seakan-akan bukanlah alat bantu bernafas, karena nasal cannula-nya tidak membantu Java bernafas sedikitpun.
Dahinya berkeringat, dengan tubuhnya yang sudah kembali berbaring nafasnya tersengal-sengal seperti orang tercekik.
Tak lama kemudian matanya terpejam secara perlahan, sampai semuanya gelap dan suara gerimis ataupun gemercik air sudah tidak dapat didengar lagi olehnya.
Hingga hembusan nafas yang tersengal-sengal itu kembali normal dan keringatnya mulai menetes seperti air yang mengalir, sebagian tubuhnya sudah membiru dan setelahnya Java mencoba membuka matanya dengan perlahan, karena dia benar-benar tak kuat menahan matanya tersebut agar tak tertutup kembali.
Sampai akhirnya pintu ruangannya terbuka. Menampakkan seorang remaja laki-laki dengan baju pasien Rumah Sakit Jiwa, dia datang bersama wajah pucatnya yang mirip dengan Java, tak lupa dua perawat laki-laki yang menjaganya seakan waspada. Sampai kepala yang tertunduk itu akhirnya mendongak, menampakkan wajah buruk rupa yang penuh dengan lebam, dan luka di mana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Java dan Lukanya
Fanfic[brothership, friendship, angst] "Menjadi tunarungu itu menyedihkan. Bahkan lebih baik tiada daripada harus hidup dengan alat pendengar." Ketika Java si tunarungu berusaha hidup padahal tidak ada seorangpun yang peduli pada kehidupannya saat dia ber...