XXVIII : aku mau Ricky

322 27 0
                                    

“Semua yang terjadi itu takdir Tuhan, bukan kesengajaan.

...

"Tuan? Anda sedang apa?" Tanya Jendra yang baru saja datang setelah pulang untuk mandi dan beristirahat.

"Tidak ada." Jawab Hesta sambil membolak-balik halaman buku diary milik Java.

Suara EKG terdengar nyaring di dalam ruangan gelap dan sunyi tersebut, dengan oxygen mask yang menempel di bagian wajah Java. Rasanya sama seperti beberapa bulan yang lalu disaat Java terbaring di atas bangsal karena sahabat masa kecilnya.

Ruangan gelap itu benar-benar memancarkan kesedihan. Bahkan Java terlihat lebih parah dari sebelumnya. Entah ini takdir macam apa ini Hesta pun juga tidak mengerti dengan cara Tuhan membuat Java bahagia. Namun setidaknya Hesta ingin melihat senyuman dari wajah pucat adiknya tersebut.

Walaupun hanya sedetik.

Setidaknya mata itu mau terbuka dan ada harapan untuknya membuat Java bahagia dan merasakan kehadiran seorang kakak di hidupnya selain Jaegar yang selalu ada di sampingnya layaknya Hesta selaku kakak kandung Java.

"Java..." Dengan perlahan Java membuka matanya saat dia mendengar panggilan dari Hesta. Jendra yang tidak tau apa-apa pun kaget dengan kejadian di depannya.

"Tuan Java?! Anda sudah sadar?!"

"Jendra, kecilkan suaramu. Java butuh istirahat." Tegur Hesta sehingga Jendra seketika meminta maaf kepada Java.

Setelah itu Java mengangkat kedua tangannya dan mulai menggerakkannya.

"Dimana Ricky?"

"Dia ... tidak akan kembali lagi."

"Maksud kakak apa? Java selamat berkat—"

Belum selesai gerakan tangan Java tiba-tiba rasanya dia kehilangan tenaga dan merasa lemas seketika sehingga Hesta langsung memanggil dokter untuk adiknya.

"Berkat siapa? Apa yang mau Java katakan? Apa tentang psikopat itu?" Batin Hesta.

...

Pasien rumah sakit jiwa

Itulah gelar untuk Ricky sekarang. Setelah dihajar habis-habisan oleh Hesta dan hendak dimasukkan kedalam penjara oleh kakak dari sahabatnya, kini Ricky berakhir terkurung di Rumah Sakit Jiwa karena Jaegar yang menenangkan teman SMA nya dan berakhir inilah keputusan terakhir dari Hestamma.

Ricky kini memeluk lututnya di atas bangsal. Tempatnya terlihat menyeramkan. Dengan jeruji besi di hadapannya seakan-akan itu tetaplah penjara bagi Ricky yang hanya beda penyebutannya saja.

Dengan wajah tak karuan nya yang masih terdapat luka basah di beberapa bagian tubuhnya dia menggambar di tembok sambil memeluk lututnya.

"Aku ... pembunuh."

"Aku pembunuh?"

"Hahaha!" Setelah bergumam Ricky langsung tertawa keras dan mengacak-acak rambutnya lalu menangis sambik berteriak seperti orang tidak waras.

"Aku pembunuh!"

"Kalian denger kan?! Ricky Abyasa Bajrayekti itu pembunuh!"

"Psikopat!"

"Pengkhianat!"

"Argh!!"

Prang!

Sungguh sekarang kondisi Ricky terlihat tak karuan. Dengan baju pasiennya anak itu menjadi lebih gila sekarang. Bukan terlihat seperti orang gila, tapi memang gila.

[✓] Java dan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang