"Aku hanyalah anak kecil yang dipaksa dewasa dan tumbuh melalui luka yang semesta berikan secara berkala."
....
Setelah selesai memasak dan mematikan kompornya kini Jaegar sedang berada di ruang tengah bersama Java dan meminta penjelasan dari adiknya tersebut.
"Jadi kamu udah konsumsi itu mulai dua tahun yang lalu?" Tanya Jaegar memastikan.
Java hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Kepalanya kini dikompres dengan air dingin oleh Jaegar agar pusingnya bisa
sedikit reda."Kenapa?" Tanya Jaegar dengan tatapan sedihnya.
"Karena Java terlalu terpukul setelah kepergian nenek. Hidup Java hancur. Java tidak punya siapa-siapa selain nenek, tapi dia malah pergi meninggalkan Java sendirian di dunia."
"Bukannya Java punya kakak disini?"
"Java tau, tapi... Rasanya masih tetap sepi. Karena kak Jaegar bukan kakak kandung Java. Kakak hanya orang baik yang mau menerima Java dan menganggap Java sebagai adik kakak sendiri."
"Setiap hari Java merasa tidak punya semangat hidup. Java selalu mengurung diri di dalam kamar. Java tidak berpenghasilan ataupun memiliki kesibukan. Java hanya diam dan merutuki nasib di dalam kamar sendirian. Sampai kakak waktu itu datang dan membawa psikiater untuk Java."
"Terus semua obat ini? Bukannya kamu udah gak boleh konsumsi semenjak psikiater bilang kamu udah baikan?" Tanya Jaegar lagi sehingga Java diam.
"Awalnya ini memang resep dari psikiater untuk Java seperti yang Java ceritakan ke kakak, dan katanya psikiater juga Java seharusnya berhenti mengonsumsinya jika rasa cemas Java sudah reda. Tapi-"
"Java tidak bisa. Java malah membelinya di apotek dan mengonsumsi obat-obatan lainnya. Seperti obat tidur, pereda nyeri, obat penenang dan obat yang kakak temukan."
"Jadi selama ini cara kamu atasi stres dengan minum ini?"
Java mengangguk sebagai jawaban.
"Java tau dia?" Tanya Jaegar sambil menunjukkan kartu nama yang sama seperti tadi. Tapi Java hanya menggeleng pelan lalu menggerakkan tangannya.
"Java tidak tau dia siapa. Tapi..."
"Sepertinya dia tidak terlalu penting untuk diingat." Membaca gerakan tangan Java, Jaegar tertegun.
"Kenapa gitu?" Heran Jaegar, karena bukankah orang di kartu nama itu sangat penting untuk Java dan hidupnya?
"Di ingatan Java dia itu orang yang Java sayang selain nenek dan kak Jaegar. Dia selalu Java panggil kakak, tapi ada ingatan lain-"
"Apa kamu ingat kalau punya kakak laki-laki yang seumuran sama kak Jaegar?" Tanya Jaegar memastikan tapi Java hanya mengedikkan bahunya.
"Aku ingat, tapi aku ragu. Apa benar dia kakak ku atau bukan, aku juga tidak tau."
Setelah membaca gerakan tangan Java, Jaegar langsung bersuara, "kamu punya. Dia bisu, dan namanya Hesta." Sahut Jaegar membuat Java mematung tak percaya.
Kemudian suasana disana menjadi hening sejenak sampai Java menatap Jaegar dengan penuh harapan.
"Kak, apa aku pembunuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Java dan Lukanya
Fanfiction[brothership, friendship, angst] "Menjadi tunarungu itu menyedihkan. Bahkan lebih baik tiada daripada harus hidup dengan alat pendengar." Ketika Java si tunarungu berusaha hidup padahal tidak ada seorangpun yang peduli pada kehidupannya saat dia ber...