“Di dalam ragaku, hanya ada rasa putus asa yang terus menerus tumbuh layaknya tanaman merambat yang sudah mengikat jiwa.”
...
Akhirnya, setelah beberapa Minggu Java dirawat kini dia boleh pulang, dan itu adalah kesenangan tersendiri bagi Java.
Tanpa bantuan dan tanpa teman atau keluarga, Java dengan bersusah payah berusaha dan membereskan semuanya sendirian, memesan taksi sendiri dan pulang seorang diri juga. Padahal dia masih punya kakak, tapi entah kenapa hidupnya terasa seperti sebatang kara saja. Karena dia juga tak mengubungi Jaegar ataupun Jendra. Ya, Java sudah sadar akan posisinya. Dan Java rasa menghubungi mereka hanya akan mengganggu pekerjaan para orang dewasa.
Setelah perjalanan singkatnya, akhirnya dia sampai di depan rumah dengan nuansa kuno dan halaman luas sebagai pelengkapnya.
Java tak langsung masuk ke dalam, melainkan diam sejenak setelah pemilik taksi membantu Java menurunkan semua barang-barangnya dan pergi setelahnya.
"Rasanya seperti kembali ke waktu itu. Waktu dimana aku dibuang oleh mama, malam dingin yang berangin dan rasa kantuk yang menjadi pendamping, tak lupa lelah dan sedih yang bercampur dengan bingung karena rasa ingin tahu yang begitu besar, karena Java bingung kenapa mama membuang Java waktu itu. Tapi dengan kebaikan Tuhan, akhirnya Java tau semua fakta yang Java tidak ketahui karena tuli."
"Rumah, Java ... pulang."
Setelah bermonolog singkat Java pun menjalankan kursi rodanya dan masuk ke dalam setelah memangku tas ransel miliknya.
Rumah yang lama tak ditempati itu terlihat buruk, mungkin dulu Java bisa membersihkan semuanya sendiri, tapi sekarang? Dia hanya bisa membersihkan yang dia bisa. Dan memasak makanan sesuai kemampuannya.
Sampai saat Java masuk ke dalam kamarnya dia berhenti di depan laci. Laci tempat obatnya tersimpan, dan dengan segera Java membukanya dan melihat obat-obatan yang selalu menjadi penolongnya saat sakit, saat bingung dan lelah, bahkan saya dia tidak bisa beristirahat dari lelahnya siang.
"Apa Java konsumsi obat-obatan ini lagi saja agar tenang?"
Setelah memegang obat-obatan itu Java menaruhnya kembali dan berusaha naik ke atas kasurnya dengan susah payah.
"Aku ini hidup sebatang kara ya? Padahal kakak masih ada, tapi kenapa rasanya semua orang sudah tiada dan Java hanya bertahan hidup seorang diri saja?"
Java termenung lalu menoleh ke arah balkonnya yang dimana terdapat bunga miliknya yang sudah layu disana akibat tak dirawat oleh Java. Dan di atas laci Java ada bunga mawar yang nampak layu juga, dengan beberapa kelopaknya yang ikut berguguran.
Tubuhnya benar-benar lelah. Semuanya, segalanya harus Java lakukan seorang diri tanpa bantuan Hesta. Mulai dari membereskan barang-barangnya di rumah sakit, lalu memesan taksi, membuat makanan, membersihkan rumah, dan hal lainnya.
Kamar itu kini dipenuhi dengan suara rintikan air hujan dan aroma dari bunganya yang menyeruak karena air dan angin yang membawanya masuk ke dalam.
Mereka menenangkan, tapi kenangan buruk Java selalu menghancurkan semuanya.
"Rumah ini berharga, dan akan selamanya seperti itu sampai aku tiada."
Java merasa lelah, pikirannya berputar, selalu bertanya-tanya sebenarnya apa tujuan hidupnya, untuk apa dia bertahan dan akhirnya Java hanya bisa terdiam dan menatap jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Java dan Lukanya
أدب الهواة[brothership, friendship, angst] "Menjadi tunarungu itu menyedihkan. Bahkan lebih baik tiada daripada harus hidup dengan alat pendengar." Ketika Java si tunarungu berusaha hidup padahal tidak ada seorangpun yang peduli pada kehidupannya saat dia ber...