Gadis Itu Bernama Nayla

3.5K 58 1
                                    

Oh Haloo!

Selamat datang di cerita pertamaku. Semoga kalian suka ya, dan berkenan untuk mengikuti kisah cinta Nayla dan Ustadz Zayyan.

Oh iya, jika berkenan, boleh dong senggol tombol vote-nya biar aku tambah semangat nulisnya, hihi.

Eh, kepanjangan ya? 

Yaudah, silakan kalian mulai baca kisah hasil perhaluanku.

Semoga suka yaa..

Salam hangat,

Biafaa

**********

Seorang lelaki tua dengan seikat kain sorban di lehernya nampak menatap kosong pada seorang gadis muda di hadapannya. Banyak kebimbangan dari sorot mata tuanya, sehingga menghalangi tatapan yang biasanya penuh dengan pancaran arif dan kebijaksanaan. Kakek tua itu tengah gundah, bingung ia mengambil sebuah keputusan yang walau sudah ia coba pikirkan, tetap tak ia temukan alasan untuk menolaknya.

"Bah? Bagaimana? Abah ijinin kan aku pergi?"

Gadis muda dengan gamis lebar berwarna putih tulang dan kerudung berwarna krem muda itu mencoba bertanya lagi, walau berpuluh kali pertanyaan yang sama telah ia coba tanyakan, namun tetap tak cukup untuk membuat kakeknya bergeming dan memberikan respon.

"Apa tidak terlalu jauh Neng?" suara serak itu masih penuh dengan rasa khawatir dan tak rela. "Jakarta bukan kota yang ramah untuk pendatang," sambungnya lagi, berat rasanya mengikhlaskan cucu tersayangnya untuk berjuang sendirian di kota yang bukan hanya gemerlap oleh berjuta kesempatan, namun juga penuh dengan tipu daya yang menyesatkan. (Note: 'Neng' adalah panggilan untuk anak perempuan dari tatar sunda).

"Apa tidak sebaiknya melanjutkan kuliah di kota kita saja? Di sini pun tak terbilang banyaknya universitas bagus dan ternama, tak perlu jauh-jauhlah Neng, yang dekat-dekat saja," ucapnya pelan, disertai harapan agar cucu satu-satunya yang sangat ia cintai itu paham dan mengerti.

Kota Jakarta, terlalu banyak rumor dan berita yang kakek tua bernama Abah Ahmad itu dengar. Sayangnya kebanyakan dari berita yang terdengar di telinganya bukanlah berita baik. Kata orang, di sana adalah tempat yang menjanjikan kebebasan, dan alasan itu pulalah yang membuat abah khawatir. Kebebasan yang keterlaluan, kebebasan yang tanpa batasan, kebebasan yang abah takut akan mampu mengubah cucu sholehahnya menjadi seseorang yang tak dapat ia kenali lagi.

"Abah gak percaya kalau aku sudah bisa menjaga diri? Abah gak percaya sama aku?" gadis itu, Nayla namanya, sudah barang tentu hapal ketakutan terbesar yang mengganggu pikiran kakeknya itu. Nayla sudah terlalu khatam bahwa abah hanya khawatir, takut jika cucu satu-satunya itu mengalami hal buruk di kota yang menjanjikan berjuta pesonanya itu.

"Bukan begitu, Neng, Abah sangat percaya, hanya saja, kenapa harus di Jakarta?"

'Abah takut kamu berubah.'

Kalimat terakhir hanya mampu abah utarakan dalam hati, ia tak mau membuat Nayla merasa tak dipercaya oleh satu-satunya manusia di dunia yang seharusnya percaya padanya.

Gadis berparas manis dengan hijab yang menutupi dada itu, menerbitkan sebaris senyum, dia lalu mendekat dan menggenggam tangan keriput itu dengan penuh keyakinan.

"Abah, tolong percaya ya, aku gak akan kenapa-napa, aku pandai menjaga diri. Dan untuk pertanyaan Abah kenapa harus di Jakarta, karena Alhamdulillah, aku mendapat beasiswanya di sana. Aku gak bisa mundur sekarang, bukannya Abah sendiri yang suka kasih wejangan ke para santri untuk senantiasa menuntut ilmu, tak peduli seberapa jauh pun, atau di belahan bumi manapun, seorang muslim wajib menuntut ilmu."

Dan ya, Nayla terlalu pandai membujuk. Mudah saja baginya untuk merangkai alasan dan kata-kata demi meyakinkan hati abah. Sebagai seorang santri yang tak hanya cantik, namun juga sangat cerdas, Nayla tentu paham caranya bernegosiasi. Membujuk dan meyakinkan orang-orang adalah hal yang mudah mudah bagi gadis dengan banyak piala cerdas cermat dan lomba debat sampai tingkat nasional, yang menghiasi lemari di kamarnya itu.

"Bahkan aku masih ingat ceramah Abah waktu kajian di mesjid tempo hari. Abah mengutip salah satu hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menegaskan bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnnya bagi setiap muslim. Wajib Abah. Abah sendiri yang ucapin itu, gak mungkin kan Abah lupa? Abah kan selalu bilang Abah gak setua itu untuk cepat melupakan sesuatu? Iya kan Bah?" Nayla tersenyum menggoda, yang dibalas abah dengan senyum kecut.

Ya, bagi seorang pimpinan pesantren sekaligus penceramah kondang yang namanya bahkan sudah tersohor sampai ke provinsi seberang, mudah sekali bagi Abah Ahmad untuk berbicara tentang keikhlasan dan kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim. Tapi ternyata benar juga bahwa perilaku atau tindakan itu tak bisa semudah ucapan. Dia masih belum ikhlas, mengijinkan Naylanya untuk pergi jauh.

"Lagipula apa Abah gak mau punya cucu yang pinter? Yang bisa gantiin posisi Abah nanti buat ngurus pesantren? Kan aku mau jadi ustadzah juga Bah. Aku juga pingin jadi manusia yang bermanfaat bukan hanya untuk Tuhanku, untukku, untuk Abah, tapi juga untuk manusia lainnya."

Abah menarik napas berat, sia-sia saja dia berdebat dengan Nayla, karena ke-keras kepalaan dan tekad sekuat baja gadis itu, juga kemampuan bernegosiasinya sangatlah baik, sama sepertinya. Berdebat dengan Nayla, mengingatkan Abah seperti berdebat dengan dirinya sendiri, tidak akan ada habisnya. Nayla terlalu cerdas, dan tolong salahkan Abah yang telah menurunkan kemampuan hebat itu kepadanya.

"Abah ijinin aku pergi kan?"

Abah diam sejenak, lelaki tua itu sepenuhnya paham bahwa semua ini memang perlukan pengorbanan. abah sudah barang tentu tak perlu diingatkan soal pepatah dari Imam Malik yang mengatakan, 'Bukan ilmu yang seharusnya mendatangimu, tapi kamu yang seharusnya mendatangi ilmu.'

Kalau sudah begini, abah tak bisa berbuat banyak. Maka, dengan berat hati, kakek tua dengan pancaran wibawa yang mengeruak dari dirinya itu akhirnya mengangguk lemah, membuat binar di mata Nayla semakin nampak.

"Iya, Abah ijinin kamu pergi."

Mendengar itu, Nayla tak bisa menahan diri untuk tak memeluk dan mencium tangan kakek tersayangnya itu, "Makasih Abah."

"Iya, tapi Abah mau berpesan."

"Pesan apa Bah?"

"Jaga dirimu, jaga imanmu, jaga akidahmu, jangan tukar keimananmu dengan apapun, tak peduli seindah apapun hal-hal itu janjikan padamu. Kamu harus pegang erat imanmu, pergilah, dan pulanglah dengan iman yang sama."

Saat itu Nayla terdiam.

Mengejar Cinta Ustadz GalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang