Namanya Zayyan

515 16 0
                                    


Haloo, selamat pagi, sebelum baca, cuman mau ngingetin, udah senggol ikon bintangnya belum? Kalau belum, boleh dong disenggol dulu, hehe.

Oke deh, gitu aja, selamat membaca ya :)

*****

"Kenapa bisa gini?" Nisa mengusapkan lagi kapas yang telah diberi obat merah ke lutut Nayla yang terluka.

"Gue gagal masuk ke area itu," jawabnya sambil meringis merasakan perih dan sakit di lututnya yang berdarah ketika obat itu bereaksi. "Area itu dijaga, malahan gue yang dimarahi."

Nisa menghela napas lelah. Se-tergila-gila itu kah sahabatnya sampai nekat melakukan segala cara untuk bisa mengejar lelaki itu? Tak tahukah Nayla bahwa obsesinya ini mungkin akan membuatnya berada dalam zona 'bahaya'? Yang terpenting, tak sadarkah Nayla bahwa saat ini ia mengejar-ngejar manusia yang sebenarnya tak pantas mendapatkan cintanya? Manusia itu memiliki hati yang terlalu keras untuk bisa dipecahkan Nayla begitu saja. Dan gadis itu malah seakan memberi kesempatan, menyerahkan diri sendiri untuk dapat dihancurkan oleh lelaki itu.

"Itu pondok khusus laki-laki, tentu saja dijaga. Mustahil santri lain, apalagi perempuan bisa masuk ke sana."

Nisa tak paham jalan pikiran Nayla. Sejauh ini, 20 tahun usianya, Nisa belum menemukan seorang yang bisa membuatnya tertarik, mungkin itu juga alasan mengapa gadis pemalu itu sulit mengerti apa yang dirasakan Nayla.

"Jadi Nona melakukan apa lagi sampai bisa terluka seperti ini?"

"Gue panjat lagi pohon jambu."

"Astagfirullah!" saking syoknya, Nisa langsung bangkit dan tak sadar dia telah menekan luka milik Nayla dengan kapas di tangannya. Tentu hal itu membuat Nayla semakin meringis kesakitan.

"Astagfirullahaladzim!" entahlah apa Nisa harus bersyukur memiliki teman seperti Nayla. Di satu sisi, dia tak bisa lagi mentoleransi tindakan random yang seringkali dilakukan Nayla, tapi di sisi lain tindakan sobatnya itu juga membuatnya jadi lebih sering mengingat Tuhan. Mengapa? Karena Nisa tak perlu waktu khusus lagi untuk berdzikir, karena tiap kali ia melihat tingkah Nayla, bibirnya secara spontan membuatnya terus beristigfar berkali-kali.

"Terus gue jatoh, kaki gue duluan, kepentok batu, dan tadaa, jadilah kayak gini," kata Nayla dengan enteng, seolah luka di kulit kakinya yang mulus tidak terlalu mengganggu asalkan dia bisa melihat si lelaki pujaan hati.

"Tapi sekarang setidaknya ada kemajuan, gue bisa tahu pangeran tampan itu tinggal di pondok sebelah mana, walaupun soal siapa namanya, gue belum dapet."

"Zayyan," ucap Nisa tiba-tiba, pandangan gadis itu menunduk, entah menyembunyikan apa, tapi yang Nayla tangkap bahwa Nisa tengah berusaha menutupi ekspresinya dengan berpura-pura fokus pada luka yang kini tengah dibalut kain perban.

"Namanya Zayyan," gumamnya pelan, "Ustadz Zayyan."

"U-ustadz? Dia ustadz di sini?" mata Nayla membulat, dia tak tahu kalau lelaki yang nampak seumuran dengan santri-santri lain itu adalah ustadz di sini.

"Ya, Nona, namanya adalah Ustadz Zayyan, dia adalah guru di sini, dan apa kau tahu satu fakta lagi tentangnya?"

Nayla spontan mengangguk, dan menggeser tubuhnya mendekati Nisa.

"Fakta apa?"

Sambil berbisik, Nisa menjawab, "Dia adalah si nomor satu. Orang yang paling-paling harus Nona hindari di pesantren ini."

****

Larangan adalah perintah.

Itulah prinsip Nayla. Mungkin sebagian wanita juga demikian. Semakin redflag si lelaki, maka semakin kuat obsesi bagi si perempuan untuk mendapatkannya. Semakin menantang, itulah alasan Nayla ketika ditanya mengapa dia masih keukeuh terus mengejar Zayyan walaupun mulut Nisa sudah berbusa menjelaskan betapa kejamnya pria itu dari A sampai Z.

Tapi, mustahil juga menceramahi orang yang tengah jatuh cinta. Saran-saran yang diberikan Nisa malah dianggap sebagai penambah motivasinya untuk mengejar Zayyan. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, mungkin itu istilahnya.

"Ya sudah, sekarang mau Nona apa?" tanya Nisa frustasi, setelah apapun yang ia katakan, tak berpengaruh sama sekali terhadap pendirian Nayla.

"Mendapatkan Ustadz Zayyan, titik!"

Nisa menghembuskan napas lelah ke dua puluh satu malam ini.

"Baiklah," Nisa menyilangkan kakinya, kalau sudah begini, dia tak punya pilihan lain. Setelah peringatan darinya ditolak mentah-mentah, sebagai sahabat yang baik, satu-satunya jalan yang tersisa adalah, Nisa harus mendukung tujuan sahabatnya itu.

"Dia memang kejam. Tak terbilang berapa ratus santri yang telah mendapat hukuman darinya. Tapi, walaupun demikian, dia adalah lelaki yang baik, lelaki yang taat pada agamanya."

Ya, itulah salah satu kebaikan yang Zayyan miliki. Walaupun sebutan 'Ustadz Killer' tersemat di tengah namanya, tapi Zayyan tak pernah memberikan hukuman pada santri yang memang tidak melakukan kesalahan. Sikap kejamnya itu hanya berlaku pada santri-santri nakal yang hobi melanggar peraturan. Selebihnya, dia adalah orang yang baik, semoga.

Walaupun dia tak pernah terlihat tersenyum, Zayyan memiliki kepribadian yang cukup unik. Dia adalah sosok yang memang pantas mendapat gelar 'Ustadz'. Seorang guru yang tegas dalam mengajar, dan kalau soal agama dan ibadahnya, jangan ditanya lagi. dia lebih sering terlihat di mesjid, untuk melaksanakan kewajibannya, sholat, mengaji atau berdzikir.

"Lelaki yang taat agama?" kata itu membuat ingatan Nayla melambung tinggi. Ingatan itu akhirnya membawanya kembali mengingat sesi wawancara yang dulu ia lakukan, soal pendapatnya mengenai orang yang paham agama, dan keengganannya untuk hidup dengan lelaki seperti itu.

Refleks, Nayla menutup mulutnya.

Apa ini yang dinamakan kualat?

Nayla seperti menjilat ludahnya sendiri ketika menyadari bahwa kini ia tergila-gila dengan lelaki yang lekat dengan tittle 'Paham Agama' sampai Nayla bahkan melupakan kekasih tampannya di kota sana.

"Kenapa?" usapan di bahu membuat Nayla kembali, dan langsung menggeleng sambil berkata, "Gak papa."

"Dan untuk mendekati lelaki seperti itu, Nona tak boleh bertindak gegabah seperti tadi. Bukannya balik tertarik, bisa-bisa Ustadz Zayyan malah kabur ketakutan."

Nayla tersenyum kecut sambil menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal. Harus ia akui bahwa tindakannya tadi adalah tindakan yang nekat nan memalukan. Tapi Nayla bisa apa, jika cinta dalam dirinya sudah sepenuhnya mengambil alih.

"Terus apa yang harus gue lakukan?"

"Nona harus berubah."

"Berubah seperti apa?"

"Jika yang Nona kejar adalah seroang yang taat pada agama, maka Nona pun harus sama setaranya."

"Setara?"

"Ya," Nisa menatap Nayla sungguh-sungguh, "Nona harus sama sholehanya."

Mengejar Cinta Ustadz GalakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang