14. Obrolan Malam

6.3K 643 14
                                    

“Jadi gimana, betah di sana?”

Aku mengangguk sambil masih sibuk memotong-motong daging ayam menjadi kecil. Rencananya, aku akan bereksperimen membuat bakso ayam dari resep yang kutemui di Instagram. Ditemani oleh Mas Anton, yang kayaknya baru selesai beres-beres rumah, karena ini sudah hari Sabtu. Dia libur, dan sudah kebiasaannya untuk gantian di rumah, sedangkan Mbak Kina me time walau dengan ditemani anak mereka.

“Alhamdulillah. Di sini enak, kok,” kataku jujur.

“Sering mewek, nggak?”

“Hehehe.”

Aku cuma bisa cengengesan. Sudah bukan rahasia lagi kalau aku memang cengeng. Kalau dulu ada Mas Anton yang biasa menemani aku yang lagi cengeng, kepingin nangis, pasti aku bakal diajaknya jalan-jalan. Cuma berdua. Meskipun dia sudah menikah, tapi kalau aku lagi butuh kehadirannya, Mbak Kina akan membiarkan Mas Anton menemuiku. Toh nggak sering juga.

“Kalau lagi pengen nangis, pas pagi aja. Jadi bekasnya nggak ketahuan sama Prabu. Kasihan dia, nanti mikir kamu nggak happy nikah sama dia,” kata Mas Anton menasihati.

“Iya, aku juga tahu, kok.”

Nggak Mas Anton, Ibu, atau Ayah sekali pun ... mereka akan menasihatiku agar nggak cengeng. Mereka akan rutin meneleponku, entah cuma sambungan suara, atau video call. Aku senang mereka terus memperhatikan aku, memastikan aku baik-baik saja di sini, bahagia, dan tentu saja diperhatikan oleh suamiku. Selain menghubungiku, mereka juga rutin berkomunikasi dengan Prabu Hanenda. Masalahnya, tiap mereka menghubungiku, pasti menyuruhku untuk nggak cengeng, nggak merepotkan, dan larangan lain yang membuatku sedih.

Rasanya aku masih dianggap anak kecil, nggak dewasa ... karena aku masih sering menangis tiap kali ada masalah. Emosiku selalu diluapkan dengan air mata, sehingga mereka selalu menanggapku belum dewasa. Padahal, mengeluarkan air mata lebih baik daripada aku mencak-mencak nggak karuan. Aku juga nggak mau merepotkan suamiku sendiri, tapi seolah-olah, aku bisanya cuma merepotkannya saja, dan yang menganggapku begitu justru dari keluargaku sendiri.

Orang-orang berkata, aku ini orang yang ekspresif sekali. Aku ceria, tapi gampang menangis. Hal sepele saja kadang membuatku menangis tersedu-sedu.

Sekarang, perasaan sedih dan kesal itu justru muncul. Di saat aku harusnya senang, karena masih banyak yang perhatian kepadaku, mengingatkan aku tentang banyak hal baik, tapi di kepalaku, yang ada justru penghakiman kepada diriku sendiri.

Aku yang bodoh. Aku yang bisanya cuma bikin orang repot dan khawatir. Kayak nggak ada bagus-bagusnya.

“Mas, aku mules. Aku tutup dulu, ya?”

Mas Anton bergumam entah apa, namun akhirnya mengiakan dan berpesan agar aku sehat-sehat dan selalu baik kepada suamiku.

Setelah itu, aku termenung. Menatap tumpukan daging ayam dalam blender yang sudah siap aku olah. Tiba-tiba saja, rasanya malas melakukan apa pun. Pundakku terasa berat, pinggangku nyut-nyutan, dan yang paling berdenyut menyakitkan adalah, hatiku.

Nggak mudah bagiku untuk menerima segala perubahan ini. Aku selalu berkata baik-baik saja, agar mereka nggak khawatir. Tapi justru yang mereka khawatirkan malah bukan aku. Mereka khawatir kalau aku merepotkan suamiku. Mereka khawatir kalau aku bisanya malah bikin capek, di saat Prabu Hanenda sudah seharian cari uang, malah harus ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka sok tahu. Merasa paling benar.

Baru kali ini aku merasa marah dengan keluargaku sendiri.

 

***

 

Prabu Hanenda makan dalam diam, dan aku yang belum merasa baikan, juga ikut diam. Meski aku tahu, sesekali dia akan melirikku dengan berbagai tanda tanya yang terpampang jelas di wajahnya.

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang