Hari ini sibuk sekali. Sebenarnya sejak kemarin, bahan-bahan masakan sudah mulai disiapkan dan dibersihkan, karena kami membuatnya sangat banyak kalau menurutku. Meski kata Ibu, itu belum seberapa. Tetangga kami banyak, saudara juga banyak, nggak mungkin kalau cuma tetangga sekitar yang dikasih. Tetangga Ibu dan Bapak juga sudah masuk dalam hitungan.
Acara sebenarnya besok, tapi kami mulai membuat lepat, kupat, wajik, juga ketan hari ini. Aku baru tahu kalau untuk acara begini pun repotnya nggak main-main. Pantas saja Prabu Hanenda katanya mau mendatangkan banyak banget sayuran dan ayam potong.
Ayamnya belum dipotong, sih, baru datang nanti sore, biar diolah mulai malam. Sayurannya datang besok pagi, biar dapat yang masih segar. Aku sendiri nggak begitu paham mau bikin apa saja, karena banyak banget, dan semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sedangkan aku malah duduk sambil makan sayur bening dan ayam goreng yang Ibu siapkan.
Para bapak di depan rumah, membuat wajik dan ketan dalam kuali yang besar. Beberapa ibu-ibu duduk di teras belakang, membuat lepat yang jumlahnya banyak banget. Entah berapa banyak janur kuning yang diambil dari kebun, karena selain untuk lepat, juga untuk membuat kupat.
Aku nggak berani mendokumentasikan semua prosesnya, karena ada orang lain yang harusnya aku minta izin untuk merekamnya. Paling cuma beberapa saat saja aku mengambil videonya, untuk dokumentasiku sendiri.
Ayah juga begitu antusias membantu ke sana-sini, sama sekali nggak canggung berkumpul dengan orang baru, dengan bahasa Jawa yang nggak semua Ayah tahu artinya.
“Mas, makan dulu,” kataku pada Prabu Hanenda yang muncul dari depan.
“Nanti. Baru makan jajanan di depan,” tolaknya sambil berlalu ke kamar mandi. Cuci tangan dan cuci muka, sampai rambutnya basah, lalu duduk di sampingku. “Sama nasi?”
Aku mengangguk. “Iya. Nasinya wangi banget, aku jadi kepingin.”
Ia tersenyum lembut, mengusap kepalaku dan mencubit pelan pipiku. Kebiasaannya yang nggak pernah berubah.
“Ribet banget ternyata ya, Mas? Apa emang semuanya kayak gini tiap ada acara kayak gini?”
“Iya. Namanya juga punya banyak saudara.”
“Kalau di Jakarta, nggak sebanyak ini bikinnya. Itu juga kebanyakan pada beli yang jadi.”
“Di sini, kan, banyak tetangga yang bisa bantu-bantu. Lebih enak juga kalau buat sendiri. Lagian, yang mau dikasih juga banyak, kalau beli paling mencukupi yang dikasih, belum untuk orang-orang yang bantu. Dimakan sendiri juga.”
“Iya juga, sih. Kalau lahiran juga gitu?”
“Tergantung, mau dibikin begini lagi ya nggak apa-apa. Mau sederhana juga nggak apa-apa.”
“Kita langsung akikah, kan?”
Prabu Hanenda mengangguk. “Insya Allah, ya. Mas sudah bilang sama teman orang yang jualan kambing, minta untuk disiapkan dua yang usianya cukup untuk disembelih.”
“Emang anaknya laki-laki?” godaku sambil mencolek lengannya.
Prabu Hanenda tersenyum tipis, mengusap kepalaku. “Laki-laki atau perempuan, Mas nggak masalah. Toh anak Mas sendiri. Jaga-jaga saja kalau anaknya betulan laki-laki.”
“Nggak sabar, pengen lihat Mas gendongin anak kita sendiri,” kataku sambil merapatkan tubuh dan memeluk lengannya.
Prabu Hanenda terkekeh, lalu mengecup pelipisku dengan cepat. “Mas juga nggak sabar. Semoga Adek dan Dedek dalam perut, selalu sehat dan bahagia, ya?”
Aku mengangguk kecil, merasakan tangannya merengkuh pinggulku, menarikku lebih dekat ke sisinya. Memang kami sedang ada di depan televisi, jadi nggak ada orang yang melihat. Semua sibuk di dapur dan depan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023