20. Di Antara Bahagia

6.3K 580 13
                                    

“Usia janin diperkirakan sudah tujuh minggu kalau kita hitung dari hari pertama haid terakhir, sejauh ini terpantau sehat. Ibu ada keluhan beberapa akhir ini, Bu?”

Aku membalas tatapan dokter Wahyu yang menanti jawabanku, sembari tangannya berhenti menulis di buku.

“Diana jadi gampang ngantuk, dok,” sahut Prabu Hanenda, mendahuluiku menjawab.

“Oh, wajar itu. Nggak apa-apa. Yang penting diperhatikan makanan yang masuk, ya? Jangan kecapekan juga. Anak pertama ini, kan?”

Aku dan Prabu Hanenda kompak mengangguk.

“Alhamdulillah, ya. Sebelum program, sudah dikasih dulu sama Allah,” kata dokter Wahyu lagi.

Aku disuruhnya untuk kembali duduk di kursi di depan meja kerjanya, berdampingan dengan Prabu Hanenda yang langsung menggenggam tangannya. Usia kehamilanku sudah tujuh minggu, hampir dua bulan, dan aku nggak sadar sama sekali. Sudah ada detak jantungnya juga yang tadi diperdengarkan kepada kami.

Lucu sekali.

“Untuk vitaminnya, akan saya resepkan. Tolong dikonsumsi ya, Bu? Makan juga harus teratur. Tolong dipantau juga istrinya ya, Pak?”

“Baik, dok.”

“Untuk sementara, kalau bisa, adik bayinya jangan ditengok dulu ya, Pak?” dokter Wahyu menatap Prabu Hanenda dengan senyum simpulnya. “Trimester pertama ini masih masa-masa rawan, apalagi kalau terkena sperma. Ibunya boleh bantu kalau suaminya lagi kepingin, pakai cara lain tapi, ya?”

Aku yakin, bukan cuma aku yang malu mendengar perkataan dokter Wahyu. Tapi mau disembunyikan bagaimanapun, nggak bakal bisa, sih. Ya namanya juga dokter kandungan, yang dibahas juga pasti sekitar ilmu hubungan badan. Untung saja aku sudah hamil, jadi nggak perlu dikasih tutorial harus pakai gaya apa biar bisa cepat hamil.

“Tapi saya nggak harus istirahat total kan, dok?”

Dokter Wahyu tersenyum, lalu menggeleng. “Sehat gini kok, Bu. Kecuali kalau ibunya nggak sehat, kena flek atau pendarahan. Itu biasanya harus bedrest total, dan semoga saja nggak kejadian ya, Bu? Dijaga betul-betul, ya?”

Aku menghela napas lega. Nggak tahu kenapa, rasanya sedih kalau mendengar orang hamil harus istirahat total dan cuma bisa berbaring di kasur.

“Sebentar lagi, kan, puasa juga, dok. Gimana, tuh?” tanyaku khawatir.

“Kalau kuat, ya puasa aja, Bu. Bikin sehat, kok. Tapi kalau memang nggak kuat, ya jangan puasa dulu, ya? Diganti lain hari aja.”

Setelah bertanya seputar kehamilan lainnya, aku dan Prabu Hanenda pun keluar dari ruangan dokter. Ia tampak begitu bahagia dengan berita kehamilanku ini, sampai senyumnya merekah sejak tadi.

Aku dan Prabu Hanenda akhirnya pulang setelah menebus resep vitamin yang diberikan. Di perjalanan, kami berdua diam tanpa mengobrol seperti biasanya. Motor yang dikendarai Prabu Hanenda juga nggak secepat tadi, saat kami berangkat. Dia sangat berhati-hati mengendarainya, hingga kami sampai di rumah.

Yang pertama kali dilakukannya setelah kami masuk adalah, memelukku. Menghujaniku dengan kecupannya di seluruh wajah, sampai aku ketawa karena bakal kumisnya menusuk-nusuk kulit.

“Terima kasih, Ya Allah ... istriku hamil,” ucapnya sambil kembali memelukku, kali ini diusapnya kepalaku penuh sayang.

Aku kembali tertawa, lalu mengecup pipinya yang sejak tadi menyeringai bahagia.

“Seneng banget?” ia mengangguk mantap. “Alhamdulillah ya, Mas ... nggak nyangka, bisa kebobolan walau udah sarungan.”

Kami berdua ketawa bareng. Tadi, kami juga sempat bertanya karena heran, kok, bisa aku hamil? Padahal kami memakai pengaman. Kalau nggak pakai pun jarang banget, biasanya kalau sebelum atau sesudah haid. Itu juga nggak selalu Prabu Hanenda mengeluarkan di dalam.

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang