Maaf banget ini jarang update, aku lepas lebaran kecapekan banget, jadi ngedrop, hehee.
Terus juga bab 22 kemarin itu aku ganti judul, ya, karena yang judulnya Ngidam? itu additional part di karyakarsa 😅🙏🏻
Semoga masih ada yang nungguin cerita ini 🫶🏻❤️
***
Ketika sudah memasuki bulan puasa, ada hari di mana aku nggak kuat untuk ikut puasa, karena mual dan muntah di pagi hari yang membuatku lemas nggak karuan. Aku pikir, semuanya akan baik-baik saja seperti sebelumnya, ternyata sama saja kayak ibu hamil kebanyakan. Aku mengalami yang namanya mabuk di pagi hari. Nggak karuan rasanya, mana jadi pusing dengan bau nasi. Alhasil, Prabu Hanenda membelikanku banyak makanan pengganti nasi. Roti tawar, ubi, singkong, kentang, apa pun itu yang nggak bikin aku mual.
Ibu jadi rutin mengunjungiku, mungkin karena Prabu Hanenda bercerita kepada Bapak kalau aku mabuk tiap pagi, sehingga dia jadi jarang ada di toko kalau pagi.
Kegiatan memasak tentu aku coret dari daftar aktivitas harianku, terlebih masaknya paling cuma satu kali dalam sehari. Sahur bisa makan masakan sore yang dihangatkan. Prabu Hanenda itu nggak rewel soal makanan, apalagi sekarang dia nggak lagi sering pusing, kayak awal aku hamil waktu itu.
Perutku sendiri sudah agak kelihatan menonjol di bagian bawah. Sudah masuk bulan ke empat. Rasanya tiap hari nggak sabar menantikan perutku bakal terus membesar, lalu mulai terasa bayinya bergerak-gerak samar, sampai menendang-nendang yang membuatku susah tidur. Kalau ingat aku bakal menikmati hal itu sendiri, rasanya kayak nggak adil. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Prabu Hanenda juga capek. Dia bangun saat azan Subuh juga belum terdengar sama sekali, bahkan mungkin kuntilanak juga masih menemani orang meronda. Lalu membereskan rumah, setelah itu ke pasar, pulang cuma bisa istirahat sebentar, masak, lalu baru menemani aku. Kadang juga, aku merasa kalau aku rewel, terlalu banyak mau, yang membuatku jengkel sendiri.
Untungnya aku punya suami yang sabar, walau mungkin juga Prabu Hanenda nggak menunjukkan rasa jengkelnya kepadaku. Bukankah itu juga menunjukkan kalau dia orang yang sabar?
Aku memperhatikan Ibu yang sibuk memanen kangkung dan membuangi rumput kecil yang belum sempat dibersihkan. Ibu datang hampir setiap hari, beliau nggak memaksaku makan nasi, tapi tetap memaksaku untuk makan, entah apa pun itu yang penting aku makan. Nggak jarang Ibu membersihkan rumah, walau aku sudah melarangnya. Katanya malah mengantuk kalau nggak ngapa-ngapain, padahal aku sudah bilang, nggak usah datang juga nggak apa-apa, aku cuma hamil, bukan sakit yang harus ditunggui setiap saat.
“Nduk, Ibu bikinkan sayur bening kangkung, mau?” tawar Ibu sembari mendekat, mencuci kangkungnya di kran terdekat.
“Tapi panas, Bu,” kataku berusaha menolak.
Aku malas banget makan atau minum yang hangat, apalagi panas. Ini saja sedang menikmati es jeruk yang tadi pagi sempat dibuatkan Prabu Hanenda.
“Ya ditunggu sampai dingin,” sahut Ibu ketus. “Kamu ini, loh, ndak mau makan nasi, mbok ya makan yang lain. Jangan minum eeessss terus,” katanya sambil berlalu ke dapur.
Ibu kalau omongannya nggak didengar, pasti jadi begitu. Aku paham kalau sebenarnya maksud Ibu itu baik, cuma kadang orang nggak bisa lihat kebaikannya, karena ada satu dua hal yang membuatnya jadi kelihatan jahat.
Prabu Hanenda pernah bercerita sedikit saat kutanya waktu itu, katanya, Ibu itu terlalu mementingkan anak-anak dari pernikahannya yang sebelumnya, sampai disebutnya tidak tahu diri. Hal itu juga yang membuat Bapak jadi mengurus soal harta benda atas nama Prabu Hanenda dan Hasan, agar Ibu nggak lagi bisa mengusiknya. Aku lumayan tahu hal ini, karena pernah bertanya. Ya bagaimana, ya? Tahu ternyata suami kita punya banyak aset, padahal bukan pengusaha kaya raya. Bukan maksudnya merendahkan pedagang, hanya saja, aku tahu kalau kadang kami juga nggak untung. Ya namanya juga jualan bahan pangan, yang tiap harinya bisa rusak, pasti kalau mau ambil untung besar juga susah. Belum lagi punya pegawai yang harus digaji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023