28. Anak Ayah

5.1K 523 43
                                    

Semuanya berbuka di rumah kami. Ibu membuat ayam goreng lengkuas yang enak, disandingkan dengan sambal terasi yang nggak kalah mantap. Potongan timun dan selada juga laris manis dinikmati oleh semuanya. Aku yang sudah lebih dulu menghabiskan masakan Ibu yang dibawa Ayah dan Prabu Hanenda dari Jakarta, nggak melewatkan kesempatan untuk ikut menikmati ayam goreng itu.

Menikmati kembali masakan Ibu, membuat rasa kangenku bertambah berat. Aku nggak bisa menahan air mata yang tiba-tiba mengalir saat sedang makan tadi.

Ayah berkata kalau Ibu ingin bicara denganku, tapi Ayah nggak langsung menghubungi Ibu saat itu juga. Nanti, saat Hasan, Ibu, dan Bapak sudah pulang, barulah kami akan menghubungi Ibu.

“Stroberinya mau dimakan kapan?” Prabu Hanenda bertanya setelah kembali duduk di sampingku.

“Nantilah, ini masih kenyang banget,” kataku sambil mengusap perut.

“Dicuci yang bersih kalau mau dimakan,” sambar Ibu yang baru cuci tangan.

“Ibu mau?”

“Buat kamu saja, Nduk.

“Hasan mau?”

“Mas Prabu udah kasih, Mbak,” sahut Hasan sambil menunjuk tas belanja berwarna hijau yang ada di atas meja dapur.

“Ayah mau buah?” tawar Prabu Hanenda pada Ayah yang baru keluar dari kamar mandi.

Ayah melambaikan tangannya, menolak dengan halus sambil mengelus perut. “Masih kenyang, nanti aja.”

“Selainya sudah Ibu masukkan ke kulkas ya, Nduk. Besok tinggal dibikin bulat, biar gampang pas masuk adonan,” kata Ibu sambil membereskan isi kulkas. Kalau kulkasnya kecil, kayaknya nggak bakal muat. Isinya banyak banget, dan itu juga nggak semua bisa masuk.

“Iya. Ibu bawa ayamnya tadi, kan?”

“Sudah. Itu masih ada yang belum digoreng juga, Ibu simpan di bawah freezer.”

Ibu sibuk menata barang yang mau dibawa pulang, termasuk pakaian kotornya yang sebenarnya sudah aku minta untuk ditinggal saja.

“Bu, udah, sih. Capek banget dari pagi nggak kelar-kelar,” kataku.

“Sudah selesai ini,” sanggahnya.

“Besok juga ke sini lagi,” kataku.

“Tiap hari ke sini, Bu?” tanya Ayah yang tadinya sibuk ngobrol dengan Bapak.

Ibu mengangguk, tapi malah Bapak yang menjawab; “Diana cuma mau makan masakan ibunya itu, Pak. Tiap hari kalau ndak dibuatkan sup atau sayur bening, ndak mau makan dia,” adu Bapak membuat aku cengengesan.

“Habisnya nggak enak makan nasi, Pak.”

“Bapak cuma cerita, Nduk.

“Kenapa nggak bikin sendiri, Dek? Jauh, kan, rumah mertuamu?”

“Nggak enak, Yah. Nggak kayak bikinan Ibu.”

“Biar Diana ada temannya juga, Pak. Toh saya ndak ngapa-ngapain di rumah,” bela Ibu sambil menenteng tasnya. “Ayo, Pak, kita pulang. Sudah mau Isya ini.”

“Loh, nggak tarawih bareng di sini?” Ayah ikut bangkit untuk mengantar mertuaku ke depan.

Ndak, Pak. Nanti kalau di sini, pulangnya kemalaman, malah ngobrol lagi. Ndak jadi-jadi istirahat panjenengan,” kata Bapak sambil menenteng tas yang lain.

Hasan sendiri sudah keluar sejak tadi, sudah duduk di atas motornya. Ibu menaruh tasnya di motor Hasan, karena nanti akan berboncengan dengan Bapak.

“Jangan lupa ke RT ya, Mas,” kata Bapak pada Prabu Hanenda.

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang