Setelah menyisir rambut sambil sedikit mengembangkannya, karena masih setengah basah, aku mencangklong tas di pundak. Prabu Hanenda sudah menunggu sejak tadi. Duduk diam sambil memperhatikan aku yang sibuk sendiri.
"Yuk!" ajakku kepadanya.
Hari masih siang, tapi kami sudah harus meninggalkan hotel.
Bye-bye kamar hotel yang bersejarah, batinku saat melihat Prabu Hanenda menutup pintu di sampingnya, lalu memimpin langkah di depanku. Bibirku mengerucut sebal, apalagi melihat ia berjalan tanpa peduli padaku sama sekali. Boro-boro menggandeng tanganku, mengajakku bercengkerama layaknya pengantin baru yang sedang bahagia-bahagianya, dia malah berjalan cepat seperti hendak pergi bertemu bos.
Aku menghela napas, tetap berjalan seperti biasa. Membiarkan ia mengurus semuanya, aku tinggal menunggu mobil jemputan yang akan membawa kami ke rumah orangtuaku.
Tinggal beberapa hari lagi aku di kota ini, sebelum Prabu Hanenda akan membawaku ke kotanya, tempat kami akan tinggal dan menjalani kehidupan suami istri pada umumnya. Katanya, rumahnya jauh dari kota, cenderung masuk ke desa yang agak jauh dari banyak fasilitas publik. Mengingatnya saja membuat kepalaku berdenyut.
Apa kabar ingar bingar dunia kota? Pasti tidak akan ada di sana. Suara jangkrik dan kumbang pohon akan menemani hari-hariku setelahnya.
Prabu Hanenda adalah orang yang kaku. Selain minim omongan, dia juga sangat menjaga sopan santunnya. Bahkan terhadap aku, istrinya sendiri. Dia berjingkat kaget saat aku menyandarkan kepalaku di bahunya, membuatku membuang napas kesal.
"Aku cuma nitip kepala doang, loh!"
Dia tidak berkata apa-apa. Aku bisa melihat lirikan sopir dari pantulan kaca mobil. Agak malu sebenarnya, takutnya dikira aku yang ganas.
Orang-orang yang tidak kenal baik denganku juga seringnya bilang begitu. Padahal, aku cuma besar omongan saja. Nggak punya nyali untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Tapi, sekarang berbeda. Mau menari telanjang seperti cacing kepanasan di depan Prabu Hanenda juga nggak masalah, yang jadi masalah itu, jelas reaksinya. Dia pasti akan mengira kalau aku gila dan cabul.
Huft.
Baru sehari jadi istrinya, aku sudah capek batin begini.
"Pengantin baru, gimana kabarnya?" sapa Mas Anton, kakakku satu-satunya.
Dia maunya bagaimana? Kami juga baru ketemu kemarin, dan dia tahu kalau kami baik-baik saja.
Aku melihat respons Prabu Hanenda, dia cuma senyum membalas pertanyaan kakak iparnya.
"Suamimu medit banget, Dek!" bisik Mas Anton kepadaku.
"Medit begitu juga Mas Anton kasih dia izin buat nikahin aku," keluhku kepadanya.
Mas Anton membalasnya dengan tawa. "Medit omongan doang, Dek. Kalau soal duit, dia murah, kok."
Orang yang nggak tahu, pasti berpikir kalau aku yang memaksa menikahi Prabu Hanenda. Padahal kenyataannya tidak begitu. Aku bahkan pernah menolak lamarannya, tapi dia kembali dengan lamaran yang baru. Tiga kali, dan yang keempat kalinya, aku menerimanya.
Kami saling mencintai?
Enggak.
Aku bahkan menerimanya karena takut kena karma saja. Berulang-ulang menolak lamarannya, aku takut malah jodohku nggak jadi datang. Lagi pula, Ayah mengatakan kalau Prabu Hanenda itu anak yang baik. Sebagai orangtua, Ayah pasti bisa menilai, mana yang baik, dan mana yang enggak.
Sebagai anak, Prabu Hanenda memang terlihat baik. Ayahnya, alias bapak mertuaku, selalu memuji-mujinya dengan tampang semringah.
Prabu Hanenda itu anak piatu. Ibunya meninggal saat dia masih SMA. Ayahnya menikah lagi dengan janda anak dua, lalu punya satu adik dengan ayah yang sama.
Kurang paham juga, sih, aku. Tapi ya, begitulah.
Alasan lain dia tinggal sendiri selama ini ya karena dia katanya kurang nyaman tinggal dengan saudara tirinya. Apalagi, adik-adik tiri dari ibunya itu perempuan semua.
"Ayo, makan dulu, makan," sambut Ayah kepada kami berdua.
Wajah Ayah begitu semringah, begitu juga dengan Ibu.
"Nyenyak tidurnya?" tanya Ibu sembari mengusap bahuku.
Aku mengangguk. "Lumayan, walau capek banget ternyata jadi manten."
Ayah dan Ibu tertawa.
"Itu belum seberapa, Di. Kalau di desa, bisa sehari penuh acaranya," kata seorang sepupuku yang sedang menyuapi anaknya.
Bisa dibilang, aku ini cucu termuda di keluarga besar Ayah. Jarak usiaku dan Mas Anton adalah tiga belas tahun. Katanya, dulu Ibu sudah capek usaha untuk dapat anak sejak Mas Anton berusia dua tahun. Segala macam cara dilakukan, sampai akhirnya, Ibu hamil lagi saat Mas Anton kelas dua SMP. Aku jadi kesayangan banyak orang. Makanya, saat Ayah mengatakan bahwa aku akan segera menikah waktu itu, mereka heboh bukan main.
"Nanti di sana, bakal diadain pesta lagi apa enggak, Pra?" pakdeku pertanya.
Prabu Hanenda mengangguk, lalu menjawab, " Iya, Pakde. Bapak yang minta."
Aku tersenyum kecut. Kalau bukan ayahnya yang minta, mungkin Prabu Hanenda nggak akan merayakan pernikahan kami di desanya sana. Begitu, kan?
"Oh, rombongan lagi kita ke sana. Kapan acaranya? Biar pada bisa atur waktu."
"Seminggu lagi, Pakde. Soalnya, pulang dari sini, Bapak sudah siap-siap acara di rumah."
Oke, aku sudah tahu rencana ini, tapi mendengarnya lagi, membuatku jadi kepikiran, bakal seperti apa acara kami nanti di sana? Di sini saja sudah capek, apa kabar di sana? Di sini banyak tamu yang aku kenal, tapi di sana?
Entah mengapa, hal ini membuatku jadi sadar, kalau banyak hal yang belum aku tahu tentang suamiku sendiri. Dia, sih, terlalu banyak diamnya. Boro-boro pacaran, setelah aku menerima lamarannya, kami hanya beberapa kali jalan bareng, itu pun hanya sekadar makan dan langsung pulang. Paling membicarakan masalah mahar dan tetek bengeknya. Sebelumnya malah lebih parah, kami bertemu cuma di rumah, aku duduk menyempil di antara Ibu dan Ayah yang mengobrol dengannya. Itu juga dia yang ditanya-tanya, jawabannya tentu singkat dan bikin ngelus dada.
"Rencananya, kapan kalian bakal berangkat?" Ibu bertanya sambil mengunyah kacang rebus.
"Kalau Diana sudah beres-beres, nanti saya pesan tiket kereta buat besok."
Aku mendelik mendengarnya. Boro-boro untuk beres-beres. Aku saja baru tahu kalau acara di kampung itu seminggu lagi. Dalam pikiranku, kami akan di sini, paling nggak seminggu lagi.
"Aku aja baru tahu bakal ada acaranya seminggu lagi. Kamu nggak bilang acaranya mepet akad begini," sungutku pada Prabu Hanenda yang menjeda suapannya.
"Kan, tadi bilangnya kalau," sahutnya masih kalem.
Aku bersungut-sungut, lalu kembali melahap nasi dan sayur nangka kesukaan Ayah.
"Udah, udah ... nanti mulai packing kalau gitu. Ibu bantu. Kalau nggak bisa dibawa semua yang kamu perlukan, nanti Ibu sama Ayah yang bawa," kata Ibu memberi solusi.
Aku harus bawa apa saja? Baju-bajuku kebanyakan baju rumahan berpotongan pendek. Sebelum menikah, Prabu Hanenda sudah memberitahuku kalau dia nggak mengizinkan untuk aku pakai baju pendek ketika di rumah kami nantinya. Boleh, tapi cuma dipakai di dalam rumah.
Aku yang sejak dulu jarang dilarang-larang, jadi bingung sendiri. Itu artinya, aku harus beli baju-baju baru. Bajuku yang panjang paling biasanya aku pakai untuk bepergian atau saat ada acaranya.
Huft... kalau begini, aku jadi menyesalkan, kenapa Prabu Hanenda nggak tinggal di kota ini saja?
***
Sambil berkacak pinggang, aku mengamati isi lemari yang agak berantakan. Beberapa pakaian sudah aku lipat, siap dimasukkan ke dalam koper. Rencananya, aku akan membawa satu koper besar untuk mengangkut baju-bajuku. Yang penting, bisa untuk ganti baju setelah berada di rumah baru nantinya. Sisanya akan dibawakan Ibu dan rombongan.
Setelah diperiksa, ternyata ada beberapa baju baru yang masih dibungkus. Sama sekali belum digunakan, dan ketika diperiksa, itu adalah piama lengan panjang dan pendek. Ada juga gamis yang rencananya akan aku gunakan untuk hari raya nanti. Sudah aku beli jauh-jauh hari, karena saat itu dapat gamis bagus dan harga yang lagi promosi.
"Mas, nanti minta alamat rumahnya, ya? Biar aku belinya langsung dikirim ke rumah kamu aja," kataku pada Prabu Hanenda yang duduk bersila setelah salat Ashar.
"Baju segitu banyak, masih kurang?" tanyanya sambil berdiri, lalu melepas peci putihnya.
"Kamu bilang, nggak boleh pakai baju pendek kalau ke luar rumah. Aku adanya baju-baju pendek aja. Nggak mungkin, kan, gamisan tiap ke luar rumah?"
"Bagus malah."
Aku langsung cemberut.
Iya, sih, bagus. Tapi aku belum sanggup. Salat saja kadang masih bolong-bolong, di akhir waktu, jarang membaca Al Quran, pokoknya masih banyak kurangnya, deh. Makanya aku heran, kenapa Prabu Hanenda yang katanya suka mengajar anak-anak mengaji di kampungnya sana, mau mencaplok aku sebagai istrinya.
Solehah enggak, solehot iya.
"Kenapa kamu nggak lamar aja santriwati dari pesantren kalau mau cewek yang auratnya tertutup?" tanyaku sinis, lengkap dengan bibirku yang miring mencibir.
Prabu Hanenda hanya diam saja.
Aku nggak mengajaknya bicara lagi, dia juga diam saja. Main ponselnya di atas kasur. Saat sedang bingung memilih baju, aku malah ingat dengan tumpukan kado dan tas selempang berisi amplop kondangan yang tadi diberikan Ibu kepadaku. Itu adalah hadiah dari teman-temanku.
Aku sudah bilang pada Ibu, ambil saja uangnya untuk mengganti sebagian kecil uang yang habis dipakai kemarin, tapi Ibu menolaknya. Aku nggak tahu, sih, banyak atau enggak uang yang aku dapat, karena temanku juga sedikit, mereka juga mayoritas memberi hadiah yang kini ada di sudut kamar. Penasaran dengan isinya, aku menutup lemari dan mulai duduk bersila di depan tumpukan kado itu. Membukanya satu per satu, dan kebanyakan isinya pakaian dinas suami istri.
Aku malu sebenarnya, apalagi sejak tadi aku tahu, Prabu Hanenda memperhatikan tingkahku.
Iya, sih, kami sudah suami istri, tapi interaksi paling intim yang pernah kami bagi hanya saat cium kening setelah akad nikah, juga saat sesi foto di acara resepsi. Kami belum melakukan apa pun itu yang dimaksud dengan malam pengantin, selain berbagi kasur yang dibatasi dengan guling malam tadi.
"Temen-temenku pada kasih ini," kataku sembari menunjukkan beberapa helai pakaian berbahan satin kepadanya. Dapat aku lihat, telinga Prabu Hanenda itu memerah. Mungkin ia kaget karena aku memamerkannya kepadanya. "Mau aku bawa apa enggak?"
Itu pancingan saja, sih. Siapa suami yang nggak mau lihat istrinya berpakaian seksi?
"Terserah."
Idih! Itu, kan, jawaban kaum wanita! Kenapa dia jadi ikut-ikutan tren terserah?
"Kalau nggak boleh, aku tinggal. Atau aku balikin lagi ke temen-temenku?"
"Bawa aja," sahutnya cepat.
Aku menahan senyum. Mana mungkin aku mengembalikannya kepada teman-temanku. Ini adalah hadiah, bisa dikira aku nggak menghargai pemberian mereka kalau aku kembalikan. Lagi pula, suatu saat nanti, pakaian ini pasti akan melekat di tubuhku.
*****
Diana cegil 😭👊🏻
Bisa-bisanya dia kayak gitu sama lakinya, nggak ada isin-isinnya sama sekali.
Bab selanjutnya bakal diposting kalau viewers udah tembus 1,7 ribu, ya. Tengs 🫶🏻
15 Desember 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023