Jarak usiaku dengan Prabu Hanenda itu delapan tahun. Aku baru berusia dua puluh empat tahun, sedangkan dia sudah tiga puluh dua tahun. Untung saja, wajahnya nggak kelihatan tua. Rambutnya juga masih hitam dan nggak kelihatan ada kebotakan dini. Jadi nggak kelihatan perbedaan usia kami yang cukup jauh. Ya nggak jauh-jauh banget, sih, yang menikah dengan jarak usia belasan tahun juga banyak, tapi mungkin orangnya nggak sekaku Prabu Hanenda.
Aku memeluk Ibu dengan perasaan sedih. Aku akan meninggalkan kota ini dan tinggal bersama suamiku. Nggak punya keluarga dekat di sana, adanya keluarga suamiku. Kalau ada apa-apa, siapa yang membantuku, ya?
Iya, sih, mereka sudah jadi keluargaku. Tapi tetap saja, rasanya akan berbeda. Prabu Hanenda mungkin pendiam, tapi adik-adiknya seperti melihatku dengan tatapan julid mereka. Aku khawatir kalau mulut mereka lebih berbisa daripada mulutku sendiri.
"Jadi istri yang baik, nurut apa kata suami," kata Ibu sambil mengusap punggungku.
Aku cuma cemberut, malas menanggapinya.
Aku dan Prabu Hanenda, benar-benar akan meninggalkan kota ini beberapa belas menit lagi. Aku belum mau masuk, karena masih ingin memeluk Ibu. Setelah ini, aku akan berjauhan dengan Ibu.
Aku bisa berjauhan dengan Ayah, karena kami bertemu paling hanya pagi dan setelah hari petang. Saat libur pun, Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, atau pergi memancing bersama teman-temannya. Kalau aku sakit, yang mengurusku adalah Ibu. Nggak peduli berapa banyak angka untuk usiaku, Ibu selalu memijatku dengan minyak kayu putih dan menyuapiku layaknya anak kecil.
Aku nggak berharap kalau aku akan sakit setelah ini, tapi saat itu terjadi, aku nggak tahu, apakah Prabu Hanenda akan mau mengurusiku seperti Ibu atau enggak. Saat sakit, aku cukup sulit diatur. Nggak semua jenis makanan bisa aku makan, apalagi saat demamku sedang tinggi-tingginya, bau bawang pun bisa membuat aku muntah-muntah.
"Kalau nanti aku kangen masakan Ibu, susah dapetnya," keluhku disambut tawa kecil Ibu.
"Ya belajar. Nanti kamu telepon Ibu aja kalau kepingin masakan yang mirip bikinan Ibu."
Aku cuma memberengut. Sampai kemudian, pengumuman dari pengeras suara tentang kereta kami kembali disuarakan. Aku kembali memeluk Ibu, menciumnya bergantian dengan Ayah. Mas Anton juga mengantarkan kami. Dia bahkan sudah menangis sejak bangun pagi tadi. Ditertawakan oleh anaknya sendiri.
"Nanti juga ketemu lagi. Kamu kenalan dulu sama rumah baru kamu, biar nanti pas kami datang, kamu jadi tuan rumah yang baik," kata Ayah sambil mengusap-usap punggungku.
Aku menangis. Tentu saja. Siapa anak yang nggak menangis kalau berpisah dengan orangtuanya, meskipun itu pergi untuk tinggal dengan suaminya sendiri?
Aku dan Prabu Hanenda akhirnya benar-benar berpisah dengan keluargaku. Kereta berjalan perlahan, suhunya yang dingin, membuatku merapatkan jaket yang kupakai. Kepala bersandar di tepian jendela. Pemandangan di luar terlihat semakin cepat, menjauhi stasiun, dan membawaku pergi ke tempat jauh yang belum pernah aku tahu sebelumnya.
***
"Mau makan?"
Aku melirik Prabu Hanenda yang tampak biasa saja. Dia nggak sedih, karena bukan dia yang akan kehilangan banyak momen bersama keluarganya.
"Ke restorannya?"
Dia menunjuk ke arah lorong di depan sana. "Ada yang mau lewat. Mau makan apa?"
Aku memilih nasi goreng dan juga pop mi. Rasa sedih ternyata membuatku cepat lapar. Dua menu itu habis aku makan sendiri. Nggak ada ceritanya kami berbagi makanan yang sama.
Kehidupan pernikahanku, akan seperti apa, ya?
Aku memperhatikan Prabu Hanenda yang kini sibuk memejamkan mata. Tangannya memeluk tas yang berada di pangkuan.
Kalau dilihat-lihat, nggak ada ruginya menikah dengan dia. Prabu Hanenda itu sosok Mas Jawa banget. Kulitnya tan, proporsi tubuhnya juga bagus. Nggak yang tinggi banget, tapi kalau kami bersebelahan, aku jadi kelihatan kuntet, alias kurus bantet. Dia juga pandai memadu padankan pakaian, potongan rambutnya nggak kampungan.
Untuk ukuran laki-laki berumur tiga puluhan, dia kelihatan gaul.
Dompetnya juga tebal. Bukan kayak dompetku, tebal isinya KTP, kartu minimarket, kartu BPJS, kartu mahasiswi yang seharusnya sudah aku simpan, juga kartu ATM yang gunanya cuma untuk transfer sana-sini. Nggak punya tabungan, karena aku lumayan boros soal jajan. Hobi jajan, tapi nggak pandai masak. Ya sudah, wasalam isi dompet.
Duh, kalau Prabu Hanenda tahu kelakuanku, dia marah nggak, ya? Jangan-jangan, aslinya dia pelit. Nanti kalau aku kepingin jajan, aku minta uang pada siapa? Aku, kan, sudah lama banget nggak pernah kerja lagi, pengangguran telak. Nggak lucu kalau aku minta uang pada Ayah, Ibu, atau bahkan Mas Anton. Bisa-bisa, nanti lelaki di sebelahku ini dicap menantu kurang ajar.
Aku menusuk lengannya dengan telunjukku, lalu berbisik, "Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023