Aku bangun dengan perasaan yang berbeda. Aneh, tapi juga penasaran dengan hal yang baru pertama kali aku alami tadi.
Takut-takut, aku menoleh ke belakang. Prabu Hanenda tersenyum saat melihatku menoleh kepadanya. Aku pikir, dia masih tidur. Sayup-sayup, aku mendengar suara azan. Sudah Zuhur ternyata, dan aku baru bangun. Mungkin aku tidur ada satu jam.
“Mau mandi sekarang?” bisik suara itu dibarengi dengan elusan di kepala.
Jujur saja, aku deg-degan bukan main.
“Mas Prabu aja dulu,” cicitku nggak berani menatapnya lagi.
“Mas siapin air di bathub, ya? Nanti Adek langsung berendam, biar badannya enakan, setelah Mas selesai mandi,” ujarnya dengan kalimat cukup panjang.
Harusnya aku senang, bukan malah deg-degan begini. Tapi, siapa, sih, yang nggak jadi kikuk setelah ada adegan penjebolan gawang perawan?
Kalau dihitung, tadi adalah kali ke empat kami mencoba untuk menyukseskan program jebol menjebol itu, setelah sebelumnya nggak pernah bisa. Sakit, demi apa pun, sakit! Aku nggak bohong, walau kami sudah foreplay lama banget tiap mau mencoba, aku nggak bisa menahan ringis, dan itu membuatnya mengalah terus menerus. Berakhir dengan aku yang minta maaf, karena Prabu Hanenda harus keluar dengan cara lain.
Nggak usah tanya kenapa akhirnya kami bisa sampai ke titik ini. Pikir saja sendiri. Orang sudah menikah, punya waktu berdua cukup banyak, di rumah sendiri, duh ... nggak usah pergi jauh-jauh buat honeymoon juga rasanya kayak lagi stay cation di Bali.
Bercanda.
Pokoknya begitulah. Dari yang awalnya cuma cium-ciuman bibir, akhirnya nggak tahan buat cium area lainnya. Pantas saja, ya, ada kalimat dilarang berdua-duaan, karena yang ketiganya itu setan. Ya itu, sih, kalau orang belum menikah, ya. Kalau kami tentu malaikat yang sudah siap catat pahala di buku kami masing-masing.
Tadi saja, kalau aku nggak memaksanya buat dilanjutkan saja, meski aku meringis kesakitan, mungkin aku bakal jadi perawan entah sampai kapan. Ekspresinya memohon maaf sebelum dia melanjutkan, tapi sekarang, lihatlah ... Prabu Hanenda tersenyum cerah. Dia nggak lagi keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap, sudah berani cuma pakai handuk dan pakai baju di depanku dengan begitu santai.
Dia mungkin nggak tahu kalau aku deg-degan nggak karuan. Atau mungkin juga, Prabu Hanenda sama kikuknya kayak aku, cuma dibalut dengan sikap sok cool begitu.
“Eh, berarti airnya panas, dong?” tanyaku setelah tersadar.
“Iya, katanya bisa mengurangi nyeri,” sahutnya sembari memakai baju koko.
“Tapi, gerah nanti pasti.”
“Nggak. Ayo, mandi dulu. Mas mau ke masjid dulu, ngejar waktu salat.”
Aku membiarkan ia pergi lebih dulu, setelah berjanji kalau sehabis ini bakal langsung mandi. Aku cuma nggak mau ke kamar mandi dengan kondisi begini. Rasanya masih aneh di bawah sana.
Setelah memastikan Prabu Hanenda pergi, aku bangkit dan menggulung seprai yang ... ya, begitulah. Nggak perlu aku jelaskan juga, kan? Capek juga ternyata tiap hari cuci seprai. Untung jemuran kami di dalam, coba di luar, bisa habis disindir tetangga. Yang mencuci juga bukan aku, tugasku sejak kemarin cuma mengumpulkan kain yang kotor, nanti Prabu Hanenda yang mencucinya.
Aku masih berendam saat lelaki itu pulang, mengetuk pintu kamar mandi, memastikan kalau aku di dalam nggak kenapa-kenapa.
“Kenapa lama?”
“Namanya juga berendam,” sahutku sambil menggosok lengan.
“Mau makan pakai apa, Dek?”
Aku terdiam. Ingat kalau aku belum masak seharian ini. Sarapan juga beli nasi kuning di pertigaan depan. Habisnya, Prabu Hanenda mepet-mepet terus. Serius. Meski sebelumnya kami belum bisa membobol gawang, tapi dia jadi superlengket kepadaku. Doa mandi wajib yang sebelumnya dibantu menghafal olehnya, sekarang jadi hafal sendiri.
“Mas Prabu mau beli?”
“Mau masak. Apa kamu kepingin makan apa?”
Kemajuan, kan, dia mau bicara lebih panjang dari sebelumnya. Nggak cuma ham hem ham hem doang.
“Mas, kata kamu ada bakso yang enak di sini? Beli itu aja, boleh, nggak?”
“Ya sudah, tunggu kamu selesai mandi.”
“Ih! Nggak usah, Mas Prabu aja yang pergi. Aku masih pingin berendam.”
“Makan di rumah?”
“Iya. Biar nggak kelamaan di luar. Aku mau nyiapin masak aja buat nanti malam, biar nggak beli mulu.”
Masih ada ikan mujair yang belum digoreng. Sudah dibumbui sejak dua hari yang lalu. Untungnya, Prabu Hanenda nggak pilih-pilih makanan, malah aku yang nggak pemakan segala.
“Ya sudah. Mas beli sebentar. Adek jangan kelamaan mandinya.”
“Iya. Udah sana. Nanti aku kelar mandi malah Mas belum pulang.”
Aku melanjutkan mandi sambil mengingat kegiatan kami tadi. Nggak menyangka juga kalau kami akhirnya berhasil. Nggak penasaran lagi aku, cuma memang jadi agak brutal otakku kalau lihat suamiku sendiri.
Uh, lingerie di lemari pasti sebentar lagi jadi sering dicuci pakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023