26. Ayah

4.6K 615 45
                                    

PLIS BANGET INI, YA, JANGAN KOMEN 'NEXT', 'LANJUT', ATAU GIMANA ITU.
Saya pasti bakal lanjutin di sini, walau udah saya kasih tahu juga kalau cerita ini udah tamat di KARYAKARSA.

Kalau nggak sabar baca di sini, bisa baca di sana.

Daripada kasih komentar kayak gitu, lebih baik komentari isi cerita, itu lebih bikin senang dibaca sama saya.
















































*****







Aku bergerak gelisah sambil memejamkan mata, berharap agar bisa cepat tidur dan hari berlalu dengan cepat. Tapi ternyata nggak bisa.

Bayangan kemarahan Ibu yang akan aku dapatkan nantinya, membuat kepalaku sedikit pening. Belum lagi aroma kamar yang berbeda dari biasanya. Mau tidak mau, mataku kembali terbelalak, lalu memindai sekeliling dengan sedikit takut.

Aku berada di kamar Prabu Hanenda yang ada di rumah Bapak. Bukan sekali dua kali aku istirahat di sini, tapi baru kali pertama aku di sini sendirian. Nggak ada yang aneh-aneh, tapi aku merasa kalau ini bukan tempatku. Meski bukan bantal baru, tapi bantal di sini nggak apek. Seprainya juga baru dipasang, karena sebelumnya kasur diposisikan berdiri, biar nggak jadi tempat tidurnya setan, katanya. Semuanya wangi, tapi justru karena wangi itulah, aku jadi nggak bisa-bisa tidur.

Aku kangen bau Prabu Hanenda, entah itu yang ada di selimut kami, bantalnya yang kadang kena iler dan keringat. Yang paling betul, sih, aku kangen orangnya. Padahal dia baru pergi tadi sore, tapi aku sudah kangen banget.

Perutku jadi mulas, kepingin eek tapi takut, karena kamar mandinya ada di samping dapur. Rumah Bapak lebih sepi dari lingkungan rumahku, sehingga suara binatang malamnya lebih terdengar nyaring di sini. Belum lagi suara burung hantu yang samar terdengar. Makin membuat perutku terasa melilit.

Aku mengusap perut dengan lembut, mengajak bayi di dalamnya untuk tenang dan cepat tidur. Kasihan juga dia, pasti kangen sama bapaknya.

“Bobok yuk, Dek. Ibu capek, loh. Nanti Bapak marah kalau kita nggak cepet bobok,” kataku padanya sambil terus mengusap-usap perut dengan lembut.

Kalau ada Prabu Hanenda, sudah pasti aku tidur dipeluk olehnya, memastikan aku nyenyak dulu sebelum dia mau mengerjakan hal lain soal dagangannya. Aku jadi makin kangen sama dia.

Apa telepon saja, ya?

Aku menggapai ponsel yang ada di ambalan dinding. Rumah Bapak juga sebagian memang masih dinding kayu, terlebih kamar Prabu Hanenda ini, yang katanya dulu menolak untuk direnovasi total, karena sayang dengan kenangan yang ada di dalamnya. Dindingnya tentu nggak rata, ada ambalan kecil yang kupikir fungsinya sebagai penguat dinding. Ada banyak barang-barang berukuran kecil yang disimpan di atasnya. Seperti minyak kayu putih, gunting kuku, bahkan sampai robot-robot kecil yang kayaknya seusia dengan diriku.

Sudah pukul setengah dua belas malam, Prabu Hanenda pasti khawatir kalau aku menghubunginya jam segini. Tapi saat aku membuka kolom chat dengannya, ia sedang aktif. Dan benar saja, nggak lama kemudian masuk chat darinya.

Mas❤️ :
Belum tidur?

Aku tersenyum, memosisikan diri dengan setengah bersandar pada bantal yang mepet ke dinding.

Saya :
Nggak bisa bobok

Suara nyamuk yang terdengar ngang-ngung di dekat telinga, membuatku mengibaskan tangan dengan kesal. Berisik banget!

Mas❤️ :
Mau telp?

Saya :
Jgn. Nanti kena marah ibu
Ibu kayak tahu tiap aku bangun

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang