"Harusnya ke sini dulu, baru pulang ke rumah. Nggak sopan kalian sama orangtua."
Aku menegakkan punggung. Bingung harus bereaksi seperti apa.
Prabu Hanenda yang duduk di sebelahku juga nggak bereaksi apa pun mendengar omelan dari ibunya itu.
"Sudahlah, Bu. Mereka juga, kan, sudah punya rumah sendiri, to?" ujar Bapak berusaha meredam kekesalan istrinya.
Aku nggak tahu kalau ternyata banyak sekali aturan di keluarga suamiku sendiri. Kami berdua dinilai salah dan nggak sopan, karena nggak langsung datang ke rumah Bapak setelah dari Jakarta. Padahal, kan, Prabu Hanenda sudah punya rumah sendiri. Bapak nggak mempermasalahkan, malah bertanya dengan begitu ramah kepadaku, betahkah aku di rumah baru? Yang mempermasalahkan ya ibu mertuaku itu.
Begitu kami datang tadi, tatapannya tajam, nggak senyum sama sekali. Kelihatan nggak senang kedatangan menantu dan anaknya sendiri.
"Itu, kan, sopan santun, Pak. Bapak loh, jangan apa-apa dibela kalau anak bikin salah."
"Salah dari mananya? Mereka punya rumah sendiri, mau ngaso(istirahat) di rumah sendiri ya biarin saja to," kata Bapak masih dengan begitu kalem.
Ibu mertuaku cuma berdecak, kemudian berlalu ke dalam. Kami duduk di ruang tengah, tapi sama sekali nggak terasa seperti keluarga. Kami juga jadi dilihat-lihat sama warga yang memang sedang membantu acara di rumah ini.
Oh, ya. Rumah mertuaku sudah dipasangi tenda, orang-orang sudah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Acara masih dua hari lagi, tapi mereka sudah sangat sibuk.
"Besok Ayah sama Ibu datang jam berapa, Nduk?" Bapak bertanya kepadaku.
Aku meletakkan gelas teh hangat yang sempat aku minum, lantas menjawab, "Kurang tahu, Pak. Katanya, sih, dari sana habis Magrib. Sebelum Subuh mungkin sampai sini," jawabku agak ragu.
"Mulai besok sampai selesai acara, kalian tidur di sini, ya? Biar Ayah Ibumu tidur di rumah kalian saja. Daripada susah cari tempat menginap."
Aku mengiakan. Rencananya memang begitu, tapi ... waktuku kumpul dengan keluargaku juga jadi berkurang. Mau bilang ini tapi kok rasanya nggak etis.
"Ibu kalian memang begitu, nggak usah diambil hati kalau dia marah-marah," kata Bapak lagi.
Aku tersenyum tipis. Nggak usah diambil hati? Tapi rasanya nggak bisa. Aku tipikal orang yang gampang memikirkan masalah, sekecil apa pun masalahnya, kadang membuatku jadi sulit berkonsentrasi mengerjakan hal lain.
Apakah semua mertua kelakuannya begitu? Atau cuma Ibu Hasan yang begitu?
"Eh, Diana suka duren, Nduk?" Bapak tiba-tiba bertanya hal lain.
Aku mengangguk antusias, lengkap dengan senyum lebarku, membuat Bapak tertawa.
"Mas, ajak Diana petik duren. Pasti sudah ada yang matang," kata Bapak kepada Prabu Hanenda.
Aku menoleh pada lelaki itu, menatapnya dengan memohon. Aku sejak tadi berharap untuk bisa keluar dari rumah ini. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi sikap Ibu nggak membuatku nyaman.
Prabu Hanenda mengajakku pergi dari rumah, mengendarai motor yang sama dengan yang kami kendarai dari rumah. Kami sempat berkenalan dengan beberapa warga yang ada di rumah Bapak. Mereka ramah-ramah, bahkan nggak segan mencolek pipiku sambil menyebutku 'Cah Ayu', bikin aku mesem-mesem nggak jelas.
Bagiku, nggak apa-apa nggak menyukaiku atau bahkan membenciku, asal nggak di depan wajahku. Aku yang awalnya biasa-biasa saja, bisa jadi balik ikut nggak menyukai orang yang membenciku itu, karena tahu dia membenciku. Sama halnya dengan apa yang dilakukan Ibu, aku jadi malas ketemu dengan dia lagi.
Iya, sih, maksudnya baik mau mengajari anak-anaknya untuk tetap sopan kepada orangtua. Tapi waktunya nggak tepat. Dia koar-koar dengan didengarkan oleh banyak orang. Ibu tadi nggak bicara dengan nada lemah lembut, melainkan ngomel panjang dan orang-orang yang sedang membantu di rumah Bapak, jadi ikut dengar. Belum lagi gerutuan yang ia katakan saat sudah sampai di belakang. Aku tahu kalau aku dan Prabu Hanenda masih dibicarakannya sampai sekarang.
"Maafin Ibu, ya?"
Aku menoleh, menatap Prabu Hanenda yang menatapku dengan datar. Kami sedang berjalan agak menanjak, karena tanah agak basah, jadi motor nggak bisa ikut naik. Jalannya agak susah, karena masih tanah.
"Kenapa kamu yang minta maaf, Mas? Kan, nggak salah."
Ia tersenyum kecil, lalu menunjuk pohon durian yang buahnya lumayan banyak. Bergelantungan di dahan-dahan pohon, semuanya sudah diikat dengan tali, jadi nggak ada yang jatuh ke tanah.
"Ibu memang begitu orangnya."
"Pasti karena itu juga, kamu jadi milih tinggal sendiri, ya?" tebakku tepat sasaran, karena ia nggak menjawab.
"Tunggu di sini, saya naik dulu, ambil yang sudah jatuh."
Maksudnya, sudah terpisah dari dahan pohon, tapi masih ada di gantungan tali. Dari sini pun, aromanya sudah tercium. Nggak tahu jenisnya apa, aku cuma tahu kalau durian itu enak.
Prabu Hanenda menurunkan beberapa butir yang memang sudah waktunya dipanen. Aku bertepuk tangan dengan girang. Nggak sabar menikmati buah durian yang matang pohon, lalu dimakan di bawah pohonnya. Nggak di bawahnya persis, sih, maksudku ya dimakan di sini. Untung saja, kami membawa pisau dari rumah.
"Hasan juga nggak begitu dekat dengan ibunya sendiri. Dia mirip saya, pendiam. Bahkan lebih parah dari saya," ujar Prabu Hanenda tiba-tiba.
Aku mendengarkan sembari menunggu ia yang sedang membuka kulit durian. Nggak sabar rasanya.
"Kalau kamu ketemu dengan Putri dan Weni, kamu juga harus maklumi. Mereka mirip ibunya."
"Saudari tiri kamu itu?" Prabu Hanenda mengangguk. "Kenapa harus memaklumi? Orang kalau nggak baik ke orang lain, padahal orang lainnya nggak ngapa-ngapain ke dia, harus dimaklumi? Jelek amat memaklumi kelakuan kayak gitu?" tanyaku nggak terima.
Ya, kan? Kalau aku nggak ngapa-ngapain, terus mereka seenaknya kepadaku, masak harus dimaklumi? Sama saja seperti membiarkan orang melakukan bullying, hal yang nggak bisa dibenarkan. Nanti kalau korbannya sudah banyak atau baru ada yang berani angkat bicara, baru deh, pada sadar kalau kita nggak boleh menyepelekan kelakuan jelek manusia macam itu.
"Mereka susah dikasih tahu."
"Emangnya, siapa yang ngasih tahu? Bapak nggak mempan omongannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023