24. Bersyukur

6K 522 21
                                    

“Dia belum ada gerak-gerak, Di?”

Aku tersenyum dan menggeleng, mengusap perut sembari berjalan ke arah dapur lagi. Kanaya dan aku baru saja selesai salat Magrib, sementara para suami masih ada di masjid.

“Katanya, sih, mulai bulan ke lima atau ke enam gitu, Kay. Tapi ya tergantung perkembangannya juga, sih,” jawabku.

“Belum tahu juga jenis kelaminnya?”

Aku menggeleng lagi. “Bulan depan kalau kontrol, kalau USG mau coba tanya ke dokternya. Aku juga penasaran, sih, nggak sabar mau beli baju-baju lucu buat dia,” kataku.

Kanaya ketawa dan mengiakan. “Iya, loh! Aku juga sekarang tiap kali buka marketplace tuh keingetnya sama kamu, Di! Lihat baju-baju bayi lucu, sepatunya, kaos kakinya.”

Aku jadi merasa nelangsa. Pasti ada perasaan sedih di hati Kanaya, dia dan Mas Azzam juga berjuang banget buat punya bayi. Mereka merencanakan dari lama, berobat, tapi belum juga dapat. Aku dan Prabu Hanenda yang malamnya baru sepakat buat ikhtiar hamil, besoknya langsung dikasih tahu kalau aku sudah hamil.

Memang, sih, namanya juga rezeki, nggak ada yang tahu kapan datang dan porsinya segimana banyak. Walau begitu, aku tetap bersyukur, karena bisa melihat Kanaya juga ternyata bahagia dan menyambut hangat dengan kehamilanku ini.

“Kalau kata Ibu sama Bapak, belum boleh dulu beli barang-barang bayinya. Padahal aku juga udah gemes banget, di keranjang belanjaanku udah banyak banget yang mau dibeli,” sahutku sembari mematikan mejikom biar bisa diletakkan di meja makan.

Kanaya sedang merebus bakso yang tadi kami buat. Bakwan jagungnya juga sudah berkurang banyak. Kalau laki-laki, sih, memang makannya banyak, jadi kami tetap masak nasi walau sudah bikin bakso.

“Iya, katanya gitu. Terus juga kalau bayi, kan, gampang gede, Di. Jadi kalau beli baju bayi tuh mending dikit aja,” kata Kanaya yang kali ini ikut mencicipi kuah bakso yang sebelumnya sudah aku cicipi.

“Iya, kata Ibu juga gitu. Apalagi misal anaknya cowok, bakal cepet banget gedenya.”

Ada uluk salam dari depan, dibarengi dengan suara kunci yang diputar. Kayaknya para suami sudah pulang, dan benar saja, Prabu Hanenda menenteng kantong keresek ungu.

“Ya Allah, Mas, kamu beli apa lagi?” tanyaku heran, nggak habis pikir pokoknya.

Yang ditanya malah cuma senyum-senyum nggak jelas, sambil mengangsurkan keresek itu kepadaku. Hampir saja aku misuh-misuh, tapi nggak jadi setelah lihat isinya.

“Ih! Kue putu!” pekikku girang.

Aku nggak jadi marah-marah, deh, karena sejak beberapa hari lalu, aku kepingin banget makan kue putu, tapi nggak ada yang jual. Kue putu ini jarang banget ada yang jual, pun kalau ada cuma beberapa hari sekali, lewatnya pun cuma di jalan besar sana, nggak lewat depan rumah.

“Makasih, Mas,” kataku riang.

“Iya,” sahut Prabu Hanenda kalem dan singkat.

Karena ada Kanaya dan suaminya, dia jadi nggak mau peluk dan cium-cium aku. Padahal ya, biasanya pulang salat Magrib pasti dipelukinya aku sampai kadang aku engap dan mendorongnya menjauh.

“Mau makan sekarang?” tawar Kanaya sambil mematikan kompor.

“Bikin apa?” tanya Mas Azzam sambil mendekat ke istrinya itu, suaranya haluuuus banget. Ya ampun, kayak suamiku. Jadi kangen kepingin cium dia, deh!

“Diana yang bikin bakso, kan, tadi juga udah dikasih tahu, Mas.”

“Hmm ... wangi.”

Aku jadi cengengesan melihat pasangan itu, lalu melirik Prabu Hanenda yang ternyata sudah makan bakwan jagung lagi.

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang