Seperti yang kami duga, Bapak sangat bahagia dengan kabar kehamilanku. Beliau bahkan berencana untuk membuat syukuran, tapi Prabu Hanenda melarangnya. Bahkan meminta tolong untuk nggak perlu berkoar-koar pada orang lain, kalau aku lagi hamil. Biar orang lain tahu aku hamil, ketika bertemu denganku saja.
“Jangan makan sembarangan ya, Nduk? Ingat, ada anak di perutmu,” kata Ibu ketika kami ikut makan malam di rumah Bapak.
“Kalau kepingin dimasakin sesuatu, minta saja sama Ibu, Nduk. Nanti Hasan biar Bapak suruh antarkan,” kata Bapak sambil menunjuk Hasan.
Anak laki-laki itu tersenyum malu-malu dan mengangguk.
“Iya, Pak. Tapi sampai sekarang, belum ada kepingin apa-apa, sih. Cuma jadi ngantukan banget,” ungkapku disambut gelak tawa Bapak.
“Dulu ibunya Masmu juga begitu pas hamil. Kamu masih mending, Nduk ... ibunya Masmu malah mabokan juga. Baru kelihatan hamil pas sudah tujuh bulan, soalnya baru mulai lahap lagi makannya. Apa-apa dimakan, kayak lagi balas dendam, karena pas hamil muda susah makan.”
Luar biasa ya ingatan seseorang tentang hal-hal yang membahagiakan. Prabu Hanenda sudah hampir tiga puluh tiga tahun, tapi masa awal dia dikandung oleh ibunya pun masih diingat oleh Bapak.
“Beda lagi sama Hasan. Ibunya malah nggak sadar kalau lagi hamil, karena perutnya memang kandel (tebal). Nafsu makannya juga nggak berubah, apa saja dimakan,” ujar Bapak melanjutkan.
“Dulu Mas Prabu bayinya gimana, Pak?” tanyaku penasaran.
Bapak meneguk airnya lebih dulu, kemudian mulai bercerita. “Dulu Masmu keciiil,” kata Bapak sambil memperagakan dengan tangannya, “malah dikira bayi prematur, tapi alhamdulillahnya sehat. Nyusunya kuat sekali, jadi berat badannya cepat naik. Pas masih kecil, kan, belum disunat, dia itu paling kecil di antara teman-temannya. Setelah sunat malah cepat banget pertumbuhannya. Tinggi banget, kan? Kayak mbah kungnya dari ibunya dia, tuh!”
Prabu Hanenda cuma diam saja jadi objek obrolanku dan Bapak. Dia menikmati makanannya tanpa berniat menyela sedikit pun.
“Ganteng gini, pacarnya pasti banyak ya, Pak?”
Prabu Hanenda langsung terbatuk-batuk mendengar pertanyaanku. Ia menatapku gemas.
“Nggak ada, ya!”
Aku dan Hasan ketawa melihatnya jengkel.
“Masmu dulu malah takut sama anak perempuan,” ujar Bapak, kembali membuat aku dan Hasan ketawa ngakak.
“Ngarang!”
“Ngarang dari mana?”
Lagi-lagi, aku dan Hasan cuma bisa ketawa melihat Prabu Hanenda yang mengkal sama bapaknya sendiri.
“Soalnya dulu anak perempuan di sini tuh banyak, Nduk. Pas masih SMP dia masih kerempeng, tapi kalau lagi palenten suka ada yang kasih hadiah,” ungkap Bapak membuatku bingung.
“Palenten?”
“Iya. Yang kalau Pebruari itu kan pas kasih cokelat sama kembang.”
“Oohh ... Valentine?”
“Iya, itulah. Bapak ndak paham.”
“Wiihh ... yang naksir banyak,” godaku sambil menjawil pipi Prabu Hanenda, lelaki itu cuma berdecak dan menyingkirkan tanganku.
“Tapi Masmu ndak mau to, itu cokelatnya dibagi-bagi sama temannya yang pada main bola bareng di lapangan.”
“Kalau nggak mau, kenapa diterima?” tanyaku pada Prabu Hanenda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023