Selesai mengambil video di kebun, dengan masih ditemani gerimis dan udara dingin, aku membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh. Aku rekam juga setiap langkah-langkahnya. Sepele, sih, tapi kalau videonya sudah jadi nanti, bakalan bagus untuk dilihat. Apalagi kalau diedit dengan filter yang meneduhkan mata.
Setelah itu, aku kembali menyalakan kamera ponsel untuk merekam kegiatanku memasak. Dengan ponsel yang berbeda, karena baterai di ponsel utamaku harus diisi ulang. Kenapa aku nggak menggunakan kamera saja? Karena aku belum punya. Lagi pula, kamera ponselku juga nggak burik, kok. Hasil videonya bagus, meski kalau di dalam ruangan, pencahayaannya harus bagus juga, biar hasilnya nanti nggak pecah.
Beberapa videoku ada yang fyp dan itu berpengaruh banget buat perkembangan akunku. Banyak orang yang mulai follow akunku, bahkan nggak sedikit yang berkomentar minta spill ini dan itu. Pokoknya bikin bahagiaku berlipat ganda.
Selain itu, mulai berdatangan juga beberapa ajakan untuk bekerja sama, tapi aku belum berani mengambilnya. Membalas pesan-pesan ajakan yang masuk dengan meminta waktu pada mereka untuk memikirkannya, karena aku juga punya suami yang pendapatnya harus aku dengarkan. Prabu Hanenda belum aku kasih tahu, sih, aku bingung mau mulai dari mana ngomongnya. Takut dia nggak setuju juga.
Padahal kontenku itu kan campur-campur, ya. Ya kegiatanku sehari-hari, konten memasak, konten perkebunan. Tapi kok ya bisa banyak yang suka, ya?
Sambil menahan rasa ngantuk yang kembali menyerang, aku menyelesaikan masakanku pagi ini. Sudah bukan pagi lagi, sih, saat aku selesai dengan urusan dapur. Sudah pukul setengah sebelas, dan dapurku sudah kembali bersih. Masakan juga sudah matang, tinggal membereskan ruangan-ruangan lain yang belum aku jamah pagi ini. Untung saja sudah dipel kemarin, jadi untuk dua hari ke depan nggak perlu dipel lagi. Capek juga kalau harus mengepel lantai rumah ini tiap hari.
Belum juga aku selesai beres-beres, Prabu Hanenda sudah kelihatan batang hidungnya. Aku menengok jam dinding yang masih belum berganti ke pukul sebelas.
“Cepet amat pulangnya, Mas?” tanyaku sambil mencium tangannya yang terasa sangat hangat.
Prabu Hanenda tampak sedikit pucat, wajahnya juga berkeringat.
“Mas sakit?” tanyaku khawatir. Padahal, pagi tadi nggak apa-apa, loh.
“Iya. Pusing.”
Aku mengajaknya ke kamar, namun ia menolak dan memilih berbaring di ruang tengah.
“Jangan di sini, belum selesai aku bersihin,” kataku.
“Tolong Adek bikinkan teh panas, Dek.”
“Iya, tahu. Tapi di kamar aja, Mas.”
Laki-laki besar itu menurut. Langsung merebahkan diri di kasur dan memejamkan mata. Sementara aku ke dapur untuk membuatkannya teh panas.
“Mau makan? Udah pada mateng. Tapi aku bikinin sayur bening aja, ya? Biar gampang makannya,” tawarku kepadanya.
“Makan yang sudah ada saja.”
“Ya udah, tungguin. Ini tehnya masih panas, jangan diminum dulu.”
Aku bergegas menyiapkan makanan untuk Prabu Hanenda, nggak lupa mencarikan obat penurun panas yang disimpan di dekat televisi. Aku menyuapi Prabu Hanenda, karena lelaki itu bilang pusing saat mendudukkan dirinya sendiri.
“Tadi pagi juga nggak apa-apa padahal loh. Kenapa tiba-tiba sakit begini, sih?” gumamku sambil mengelap keringatnya dengan tisu. “Ke dokter aja, Mas?”
“Nanti, kalau sudah nggak begitu pusing.”
Aku mengiakan, lalu teringat dengan pintu depan yang belum ditutup. “Mas, aku kelarin bersih-bersih bentar, ya? Nanggung.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
General FictionDiana Puspa Perwitasari 24 tahun, pengangguran, cerewet, kesayangan keluarga. Prabu Hanenda 32 tahun, wirausahawan, pendiam, hidup sendirian. Keduanya bertemu, tidak ada kata cinta, tetapi mereka menikah. dimulai pada 13 Desember 2023